Zonasi dan Kesenjangan Pendidikan

Keluarga saya bukan tergolong sangat tajir, otomatis kami punya keterbatasan soal pilihan sekolah untuk anak. Di Dallas dan sekitarnya, biaya sekolah swasta yang berkualitas itu bisa lebih dari biaya kuliah di universitas setempat, sekitar 30.000 USD per tahunnya.

Di pekerjaan, saya banyak berinteraksi dengan guru dan siswa dari beragam sekolah. Baik yang berkunjung ke lab maupun relawan-relawan yang membantu pekerjaan di lab. Relawan, umumnya berasal dari sekolah-sekolah terbaik di Dallas-Fort Worth area (DFW Metroplex) dan sekitarnya. Salah seorang relawan bercerita, ia pindah dari sekolah negeri ke sekolah swasta terkenal khusus perempuan (semacam Tarakanita-nya lah kalau di Jakarta). Sekolah negerinya dulu 1 kelas 20 anak, sekolah swasta sekarang 1 kelas 9 anak. Dia senang karena bebas diskusi dengan guru dalam kelompok kecil. Gurunya bisa menyesuaikan pendekatan cara pengajaran sesuai anak didiknya. Padahal, sekolah negeri dia sebelumnya di daerah Plano, suburban Dallas, sudah tergolong sekolah negeri bagus yang ratingnya A. Kalo sekolah swasta tersebut dibandingkan dengan sekolah negeri gurem yang ratingnya D, tentunya makin jauh lebih timpang.

Sekolah negeri/public school di Amerika Serikat semuanya gratis dan umumnya tidak ada seleksi masuk, asal termasuk dalam sistem zonasi. Jadi kalau belum bisa baca, ya masuk SD terdekat biar bisa baca. Bukan harus bisa baca dulu baru boleh masuk SD. Bukan harus nilai ujian A semua dulu baru bisa masuk SMA Anu yang ngetop. Jadi sekolah gratis yang dekat sudah tersedia, asal mau. Namun sekolah yang rating akademisnya tinggi, umumnya terletak di daerah suburban yang rumah dan apartemennya lebih mahal harganya. Jadi walaupun sekolahnya gratis, tidak pakai seleksi akademis, tetap aja harus punya duit lebih untuk bisa beli rumah atau sewa apartemen di zona sekolah tersebut. Salah satu kolega saya rela menyewa apartemen kosong di daerah Highland Park, demi punya bukti domisili supaya anaknya bisa pergi ke sekolah negeri Highland Park. Ini adalah area kecil di Dallas County, di mana harga median rumah sekitar 3-4 juta USD. Sebagai perbandingan, harga median rumah di seluruh Dallas County adalah sekitar 360.000 USD.

Sekolah negeri mendapat dana dari pajak properti di sekitarnya. Maka kalau daerah orang tajir, otomatis mendapat dana yang lebih besar untuk fasilitas sekolah. Anak-anak orang kaya jadi punya privilege untuk mendapatkan pendidikan gratis yang relatif lebih berkualitas. Nggak adil? Ya begitulah realita sistem zonasi di Amerika. Ada sisi baik dan sisi buruknya yang tak terduga. Sisi baiknya tentu ada, selain anak-anak nggak perlu sekolah jauh-jauh dan bikin macet antar wilayah, ada komunitas yang peduli, merasa memiliki sekolah dan bisa ikut mengawasi, karena mereka yang bayar pajak properti buat pemasukan sekolah. Gimana dengan anak-anak yang secara ekonomi kurang beruntung (economic disadvantage), yang ortunya hanya mampu tinggal di daerah kriminal, di mana banyak gelandangan, drugs dealers, perkelahian dan tembak-tembakan antar geng? Boro-boro orangtuanya bisa partisipasi aktif ngatur sekolah harus ngapain, cari duit aja udah makan waktu. Ya, mereka dapatnya sekolah yang ratingnya buruk. Susah nyari guru berkualitas yang berani mengajar di daerah tersebut. Harga properti anjlok, siapa juga yang mau denger gunshot tiap hari. Sekolah di zona tersebut juga mendapat dana terbatas karena minimnya pendapatan pajak properti.

Rekan kerja saya adalah seorang imigran latino (Amerika Selatan) yang orang tuanya berasal dari Meksiko. Pindah ke Amerika Serikat untuk mendapatkan hidup yang lebih baik. Namun apa daya, sama aja sama di Meksiko, kata orang tuanya. Tempat tinggal mereka di bagian selatan Dallas saat itu juga dipenuhi komunitas imigran latino.  Gunshot, police cars, every day. Dia ingat waktu SD, ketika jalan ke sekolah, dipalak sama anak SMA yang drug addict. Ketika ekonomi orang tuanya beranjak membaik, maka mereka membeli rumah di area suburban yang demografi sekolahnya adalah mayoritas orang kulit putih. Sejak SMP dia sekolah di situ sebagai satu-satunya imigran latino. Sama sekali bukan rasis, tapi kenyataan berdasarkan statistik di Dallas dan sekitarnya, kebanyakan sekolah dengan rating tinggi, demografinya adalah warga kulit putih dan Asia. Sekolah dengan rating rendah kebanyakan warga latino dan kulit hitam. Sistem zonasi ini memperdalam segregasi yang, harusnya sih ada solusinya, supaya orang-orang yang terlahir dengan economic disadvantage bisa mencicipi pendidikan yang mengembangkan potensi serta memperbaiki kehidupannya.

Ambil contoh aja, di sini banyak sekali dokter dan insinyur dari India. Nah kalau anak imigran India yang ibunya dokter, bapaknya software engineer, terus masuk sekolah rating A di suburban, nerusin kuliah terus sukses di bidang biomedical engineering, itu nggak aneh, karena secara genetis dan lingkungannya udah mendukung. Terus gimana nasib anak yang sebetulnya berpotensi sukses tapi terlahir di lingkungan yang nggak mendukung dengan ekonomi kurang beruntung?

Upaya-upaya untuk desegregasi itu sebetulnya telah dilakukan, dengan adanya dengan adanya Magnet Schools (akhir tahun 70an), serta Charter Schools (tahun 80an). Apa pula ini? Kedua jenis sekolah ini masih tergolong sekolah negeri yang juga gratis. Perbedaannya, keduanya menerima siswa dari area yang zonasinya lebih luas dan sumber dananya juga lebih beragam. Buat orang tua seperti saya yang tidak mau pasrah dengan takdir zonasi yang kurang sesuai dengan standar, ini bisa jadi alternatifnya

Charter School dan Magnet School biasanya punya spesialisasi tersendiri dalam kurikulum, misalnya yang satu menekankan Math, Science, Technology, yang satu lebih ke Arts and Language. Ada lagi yang fokus ke Trade/Vocational atau keahlian siap pakai. Misalnya, kalau kurikulum standar sekolah negeri ada pelajaran olahraga dengan jatah 3 jam seminggu, sekolah ini jam olahraganya ga harus 3 jam, bisa lebih sedikit atau lebih banyak, tergantung spesialisasi sekolahnya. Seleksi masuk sekolah biasanya dengan lotere/undian, tapi ada juga yang uji kemampuan. Terkadang ada kuota tertentu di mana sekian persen anak harus berasal dari ekonomi kurang mampu. Keduanya punya otonomi lebih untuk memodifikasi kurikulum dan pengajaran. Bedanya dengan Magnet School, Charter School otonominya lebih luas karena dari asal namanya, Charter, perjanjian mengenai visi misi dan target pencapaian sekolah, disetujui antara pemrakarsa sekolah dengan donatur, komunitas dan pihak-pihak terkait. Dinas pemerintah lokal/school district hanya mengawasi saja. Beberapa pendiri Charter Schools adalah orang kaya raya murah hati alias filantropis yang peduli dengan pemerataan pendidikan untuk semua kalangan.

Hasilnya? Cukup banyak yang mengungguli sekolah negeri tradisional dengan “takdir zonasi horang kayah”. Ambillah contoh distrik Dallas. Dallas Independent School District (DISD) adalah salah satu distrik sekolah negeri dengan area paling luas di Texas, dan ekonominya sangat timpang. Gambar di bawah ini bukan data terbaru, tapi cukup mewakili kesenjangan tersebut.

Daerah atas adalah North Dallas yang pendapatan penduduknya di atas rata-rata, yang bawah adalah daerah South Dallas yang, kebalikannya, jauh di bawah rata-rata. Mereka di utara Dallas dengan zonasi sekolah DISD bisa mengirimkan anaknya ke sekolah swasta, jika dirasa sekolah negeri sekitarnya kurang bagus. Sebaliknya,yang di selatan tidak punya banyak pilihan kecuali ke sekolah setempat.. Buat pendidik, mengajar di area selatan Dallas adalah salah satu mimpi buruk.. Yang udah pernah nonton Dangerous Minds – nya Michelle Pfeiffer, itu nggak seberapa sih tantangannya. Makanya guru-guru yang mau mengajar di area ini ini diberi insentif lebih daripada guru-guru yang mengajar di area suburban. Tetap aja banyak yang bilang, insentif nya nggak seberapa dibanding tantangannya. Ini bukan lagi soal ketidakberuntungan secara ekonomi. Tapi anak kita bisa berteman sama anak-anak yang orang tuanya drug addict yang juga nggak peduli untuk ngajarin anaknya bagaimana bertingkah laku. Kebayang nggak sih ngajar ke murid-murid yang udah nggak peduli sama sekolah, orang tuanya juga nggak peduli, terus gimana kalo muridnya nembak gurunya?

Terlepas dari semua tantangan itu, ketika saya random cari Top 3 Public High Schools in Texas, keluar rating dari situs US News yang hasilnya BUKAN sekolah di suburban area tempat orang-orang berada tersebut. 3 peringkat teratas justru dari Dallas ISD, 2 Magnet Schools, 1 Charter School yang semuanya berlokasi di Selatan Dallas. Salah satunya adalah Irma Rangel Leadership School, peringkat 20 dari puluhan ribu SMA di seluruh Amerika Serikat. Ini sekolah khusus perempuan yang 80% siswanya latino. Di situs ini mereka jauh mengungguli sekolah-sekolah negeri di area ekonomi kelas atas dengan mayoritas kulit putih dan Asia yang saya sebutkan di atas, sekolah dengan “takdir zonas bagus”. Tentunya, rating dari situs yang berbeda, indikatornya juga bisa beda. Sekarang saya ambil rating resmi dari pemerintah setempat, TX schools.org. di mana kita bisa membanding sekolah satu dengan yang lain

Situs ini biasanya datanya lebih terbarukan. Di sini saya membandingkan sekolah Irma Rangel, yang 70% muridnya dari ekonomi kurang mampu, 80% hispanic/latino, dengan Highland Park, daerah “horang kaya” yang saya sebut di atas, dengn hanya 0.2% dari ekonomi kurang mampu dan lebih dari 80% kulit putih. Ternyata sekolah dari anak-anak dengan ekonomi kurang mampu bisa bersaing bahkan academic growth nya melebihi sekolah anak-anak horang kaya. Academic growth biasanya menunjukkan, kemampuan mereka sebelum dan sesudah tahun ajaran. Anak-anak yang sudah dari sononya pintar, dari lingkungan terpelajar yang les ini itu, bisa jadi nggak begitu banyak growthnya karena sudah mentok. Justru sekolah bagus adalah sekolah yang anak-anaknya biasa saja atau bahkan di bawah rata-rata, tetapi sekolah tersebut mampu mencapai pertumbuhan akademik yang tinggi. Di Indonesia, sekolah favorit biasanya terjadi karena bibitnya sudah unggul yang diseleksi dari nilai akademik. Sekolah favorit bukan karena pertumbuhan dari bibit yang biasa-biasa menjadi bibit unggul. Maka kemudian Indonesia mengubah jadi sistem zonasi untuk meratakan kesempatan. Kita belum tahu keberhasilan dan kendalanya, masih butuh waktu panjang. Tentunya beda negara, beda masalah, beda solusi.

Di tempat kerja, relawan-relawan dari sekolah Irma Rangel ini termasuk favorit saya. Walaupun pada umumnya relawan yang bekerja di lab saya itu bagus-bagus, tetapi terkadang hit and miss, ada yang bagus banget ada yang sangat tidak mature. Tapi relawan dari sekolah ini, saya juga heran, kok bisa semuanya bagus. Dalam arti bukan cuma pintar tapi kerjanya juga cepat tanggap satset satset, dan attitude mereka super sopan. Relawan dari sekolah suburban, mereka pintar sudah pasti, namun beberapa kadang kelihatan sekali anak manja kurang inisiatif atau kurang diajarkan untuk respek terhadap otoritas, sedikit-sedikit ngecek smart watch dsb. Dari sini saya juga mencoba cari tahu, apa sih yang diajarkan di Charter School tersebut, sampai membuat attitude murid-muridnya sopan, etos kerjanya bagus? Apa yang membedakan? Ataukah anak-anak tersebut memang sudah terseleksi karena walau orang tuanya berangkat dari humble beginning tapi jelas peduli soal pendidikan hingga mau capek-capek ikut proses masuk Charter School.

Ketika kita nyari sekolah dengan membandingkan rating, kebanyakan rating adalah indikator akademis, karena memang lebih gampang diukur. Saya sering lihat sekolah A anaknya sopan-sopan, biasa ngantri, nggak rebutan, good listener. sekolah B pinter-pinter tapi rebutan, kasar, dsb. Terus gimana ngukur pendidikan karakter? Gimana taunya pendidikan karakter di sekolah tersebut berhasil?

Saya selalu bercita-cita  pengen anak saya itu attitudenya baik. Kejujuran, kemandirian, caring and respect to others, itu menurut saya jauh lebih sulit dibuat sistem pengajarannya dibanding skill akademis yang sepengetahuan saya lebih banyak dipengaruhi lotere genetik. Pendidikan karakter memang utamanya dari keluarga, tapi ketika kita mengirimkan anak ke komunitas seperti sekolah, maka komunitas itu bisa memperkaya atau justru menihilkan apa yang sudah kita ajarkan dari rumah.

Lebih lanjut tentang pengalaman saya nyari sekolah yang punya pendidikan karakter ini, saya tulis di tulisan berikutnya.

Berbeda-beda tetapi Tetap Texas

Tepat 10 tahun sudah saya tinggal di Amerika Serikat, tepatnya di Texas bagian utara. Selama itu saya tinggal di 3 kota yang berbeda: Lewisville, Dallas, Richardson. Walau semua sama-sama daerah Dallas Metroplex (Dallas dan kota-kota di sekitarnya, kurang lebih seperti Jakarta dengan Bogor Bekasi Depok), tetapi dari pengalaman berinteraksi dengan penduduknya, tinggal di 3 kota tersebut sama sekali bukan hal yang seragam atau tipikal, semuanya completely different.

Memang tipikal Texas itu kayak gimana? Image koboi, pistol, itu pasti ada. Financial advisor suami saya aja kirim kartu Natal/Tahun Baru dengan foto semua anggota keluarga dia berpose megang senjata api. They LOVE guns!

edbc2706f1561f62746c893fae9735cc

Image via Berry

Waktu awal pindah, saya menduga karena ini basis kaum konservatif secara politis, maka sebagai muslim minoritas ada perasaan takut juga pindah sini.  Kota pertama tempat saya tinggal adalah Lewisville. Di sini juga saya sempat dipersekusi oleh bapak-bapak yang “panas” karena melihat saya berjilbab, sampai harus berurusan dengan polisi.

Walau secara demografi Lewisville cukup banyak imigran dari Amerika Latin, dalam keseharian saya cukup sering berinteraksi dengan tipikal orang bule yang seperti belum pernah melihat dunia luar.

Contohnya, saya pernah ditanya “Do you have TV in your country?”, atau “Are women in your country allowed to vote?” Waktu itu saya jelasin “Not only women are allowed to vote, but women can be a president, too“.  Kadang pengen saya tambahin “Woi, Indonesia tuh pernah punya presiden perempuan loh.. Amerika kagak pernah kan?” saking keselnya. Tapi saya sadar pertanyaan-pertanyaan mereka bisa jadi nggak bermaksud meremehkan, melainkan beneran pengen tahu. Saya banyak berinteraksi dengan tipikal orang tua jadul yang tidak punya paspor dan merasa Amerika Serikat adalah negara paling hebat sehingga tidak perlu pergi ke mana-mana. Mereka mampu secara finansial untuk traveling, tetapi sangat enggan meninggalkan zona nyamannya. Di cafetaria pernah saya ngobrol dengan teman usia senior yang mengaku tidak pernah keluar negara bagian Texas dan tidak pernah makan ikan kecuali fillet-o-fish. Buatnya makan ikan yang masih ada tulangnya, makan sushi atau tinggal di luat Texas itu bener-bener out of her comfort zone.

Texas bagian utara memang masih termasuk area Bible Belt, basis kaum Kristen Protestan taat dan secara politik termasuk konservatif. Secara sejarah dulunya Lewisville ini basisnya Kristen aliran Baptist, yang tidak memperbolehkan alkohol. Dahulu jika penduduk Lewisville mau minum bir, mereka harus beli di kota tetangganya, Flower Mound, yang merupakan basis Kristen Presbytarian.

Salah satu yang juga “berkesan” adalah perkenalan saya dengan bapak-bapak tua umur 80an. Sebut saja namanya Pak Tua. Dia ini hobiiiiii banget menginterogasi saya tentang keIslaman saya. Kalo cuma nanya-nanya karena pingin tahu, saya maklum banget. Tapi ini lebih berkesan mengejek daripada bertanya. Mungkin kebanyakan dapat berita buruk tentang muslim di media ultra konservatif. Dan semuanya dikonfirmasi ke saya dengan nada “ngenyek”, seperti:

You heard the news about the muslim father who killed his daughter? He found his daughter dating someone?”

In Paris, those muslims people were praying on the street and closed the street for everybody else“. Yang paling ngeselin waktu dia ngomong I think Qur’an really endorses violence”.

Aduh Pak.. Nggak ada cara lain memulai percakapan apa ya, makanan favorit kek, atau liburan ke mana nanti, atau gosip artis juga masih mending kali ya. Ini bukan masalah konten doang sih tapi timing dan manners gitu lho. Kalo di forum khusus diskusi dan debat masih mendinglah. Ini di tempat kerja. Kadang saya mikir ni orang mungkin mirip ama netizen yang hari-harinya cuma posting kebencian terhadap golongan yang dia sebelin, bedanya ini bukan netizen tapi di dunia nyata.

Waktu itu saya udah capeeeek banget melayani percakapan dengan dia, akhirnya saya bilang, Quran yang saya percayai tidak menginspirasi melakukan kekerasan. “But Sir, if you want to believe what those terrorists believe, go ahead. I am not gonna try to change your mind“. Intinya saya anggap dia sama dengan teroris: percaya bahwa kitab suci menganjurkan kekerasan. Sejak itu kayaknya dia agak “lunak” dalam menginterogasi saya dan mulai banyak ngomongin hal lain selain agama dan politik.

Belakangan saya baru tahu, bukan cuma saya yang sering “diganggu” sama Pak Tua, tapi juga teman-teman lain yang beragama Katolik. Teman-teman yang Katolik kayak berusaha melindungi saya juga saat diinterogasi Pak Tua. Ternyata si Pak Tua ini penganut aliran di Kristen Baptist yang katanya sih benci banget ama Katolik. Ya, orang berhak percaya apapun, tetapi yang ngeselinnya dia memaksakan pendapat dia ke orang lain. Saya dengar sendiri ia menjelaskan ke teman Kristen yang lainnya, seperti menghasut  untuk ikutan benci Katolik juga. Kok jadi inget juga sama muslim yang nganggep muslim lain belum afdol kalau nggak benci banget sama Syiah dan Ahmadiyah. Atau yang menganggap yang beda pengajian itu kurang kaffah Islamnya. Pak Tua ini ngomong agama dan politik di manapun, tidak liat sikon. Yang kayak gitu memang ada di agama manapun, bahkan juga yang tidak beragama. Atheist puber dan norak yang selalu nyela semua agama juga ada. Intinya ketika mengejek yang berbeda dan merasa paling benar sendiri, ya sama aja semua. Kurang pede dengan kepercayaannya kalo nggak pake menghina yang lain.

Ketika si Pak Tua ini lama nggak masuk kerja, saya merasa damai sekaligus heran juga kemana ya kabarnya. Terus dapatlah info dari teman yang lain: Pak Tua jatuh di trotoar, dan nggak bisa bangun sendiri, belum sempet bangun terus digigit anjing. Ha? jatoh dan digigit anjing? *ketawa jahat*. Saya antara kasian tapi kok ya pengen nyukurin. Otak jail saya sempet mikir: Tuh kan, binatang aja nggak suka ama orang yang paling merasa bener sendiri dan usil sama keyakinan orang lain.

Pas saya pindah dari Lewisville dan pamitan sama orang rumah sakit, si Pak Tua ini meluk saya lama, sambil nepuk2 punggung saya bilang “Take care, kid“. Terus matanya rada basah gitu. Nggak tau dapat wangsit darimana dia, tapi saya kok jadi ikut sedih juga. Dia memang hidup sendiri dan tidak bersama anak cucunya. Jadi sedih juga kalo di hari tuanya dihabiskan dengan baca informasi provokatif dan membenci yang berbeda dengan dia. Apalagi kalo ingat generasi baby boomers emang banyak yang korban hoaks.

Seusai dari Lewisville saya diterima kerja di pusat kota Dallas. Saya sempat naik kereta bolak-balik Lewisville-Dallas. Namun ketika suami juga pindah kerja di Dallas, kita memutuskan untuk pindah ke apartemen yang jaraknya sekilo dari kantor saya di dekat downtown Dallas. Daerah ini mungkin seperti Business District di Sudirman. Di sekitarnya banyak hunian apartemen. Tempat saya tinggal dekat ke Uptown Dallas yang sudah jelas demografinya beda banget dengan Lewisville yang cenderung “oldies“.  Lebih banyak pendatang dari negara bagian lain dan anak muda. Di apartemen saya  kebanyakan anak muda single atau keluarga tanpa anak. Banyak tempat-tempat makan trendi, dan kalau ngeliat orang-orang yang dateng, ini kok badannya langsing fit semua dan penampilannya ganteng cantik fashionista kayak di sinetron.

Nggak jauh dari tempat tinggal, ada swalayan tempat saya belanja sayur dan beras, terletak di daerah yang dikenal sebagai “Gayborhood” alias neighborhoodnya para gay, komunitas yang sangat LGBT- friendly di kota Dallas. Pertama lewat situ pas belanja, bingung juga, kenapa kok banyak orang joget-joget di balkon tapi cowok semua. Rupanya itu gay bar. Tukang jahit jas pria juga masang foto gede penganten pria dan pria berpelukan di depan tokonya. Ada toko baju yang pasang promosinya “Belanja baju $20 dapat gratis tes HIV”. Lucu amat, pikir saya, toko biasa mah beli baju dapat baju lagi, eh ini mah dapat gratis tes HIV.

Teman kantor saya yang gay bahkan cerita kalau ia beli asuransi tambahan yang mengcover HIV karena dia sadar gaya hidupnya berisiko sementara asuransi kantor tidak mengcovernya. Kesan yang saya tangkap sih mereka tidak segan mengakui bahwa pria homoseksual masih menempati kasus terbesar HIV, setidaknya menurut data CDC di Amerika Serikat. Attitude dan awareness yang saya pikir jauh lebih baik daripada hanya play victim  “Oh, jangan menjudge kami dong, semua bisa kena HIV kok, bukan cuma gay doang”.

Pernah abis belanja, saya dan suami nggak ngerti kalo hari itu adalah Pride Parade, alias pawai tahunan komunitas LGBT se-Dallas Metroplex. Tentu saja acara tahunan itu dipusatkan tepat di Gayborhood ini. Walhasil kita terjebak di Parade dan nggak bisa pulang, ya udah malah iseng aja foto-fotoin pawai. Sambil merhatiin, di sini ternyata banyak juga komunitas gereja yang ikutan pawai mendukung LGBT.

Di tempat tinggal baru ini kemudian teman-teman kantor saya berubah drastis dari berbagai latar belakang etnis, ideologi dan orientasi seksual. Alhamdulillah, nggak ada lagi yang rajin interogasi saya soal kenapa pake jilbab. Atasan saya menyediakan tempat sholat di ruang meeting yang sangat nyaman.  Bahkan teman kerja yang cukup dekat di lab adalah cowok atheis dan ibu-ibu senior orang Yahudi yang sering nganterin makanan pas saya sakit abis lahiran. 

Si cowok atheis ternyata teman ngobrol yang menyenangkan. Kita suka pulang bareng naik kereta  sambil ngobrolin segala macam topik, bahkan topik agama dan politik bisa dibahas dengan adem. Dia mah scientist abis dan sangat antusias sama jamur. Pernah sepanjang perjalanan kita ngebahas buku favoritnya tentang jamur. Dia juga partner yang baik manakala konten edukasi kami diprotes oleh kaum religius yang terlalu konservatif, sehingga cenderung sinis dengan sains karena beranggapan hal itu menjauhkan mereka dari Tuhan.

Anyway, tinggal di kota yang lebih heterogen membuat saya yakin bahwa di balik perbedaan prinsipil, banyak banget nilai-nilai alias common ground yang bisa kita sepakati bersama. Seandainya saja kita nyari persamaan dan tidak memperuncing perbedaan, dunia bakal jadi tempat yang lebih asik.

Setelah punya anak, saya pindah ke kota lain lagi yang namanya Richardson. Saat pindah kita nggak begitu kepikiran tentang lingkungan seperti apa yang bagus untuk membesarkan anak, cuma mikir lebih terjangkau dan nggak terlalu jauh dari tempat kerja. Eh, Alhamdulillah ternyata di sini kita cukup betah. Yang pertama kali saya ngeh saat pindah ke Richardson adalah: Buanyaaak banget orang pake jilbab/hijab! Dari mbak-mbak di Walmart, karyawan perpustakaan, sampe gelandangannya juga pake hijab (Not sure what I feel about this). Waktu survei daycare buat anak, 4 dari 5 daycare yang saya kunjungi, guru atau direkturnya berhijab. Kocak juga kalo inget tempat tinggal sebelumnya di Lewisville saya dipersekusi karena pake hijab sama kaum “konservatif”,  setelah itu tinggal dekat dengan pusat komunitas LGBT di Dallas yang liberal abis, eh sekarang di Richardson malah kayak komplek perumahan muslim.

Tempat tinggal kita cuma 2 menit dari mesjid IANT: Islamic Association of North Texas, dan di sekitarnya ada 2 mesjid lainnya yang cuma berjarak 10 menitan naik mobil. Kalau bubaran sholat Jumat rada macet udah kayak lebaran. Toko swalayan dan makanan halal bertebaran di mana-mana. Pizza halal saja ada 2 toko di dekat rumah,  puas deh makan pepperoni dan sausage pizza.

Richardson ini kota kecil banget secara ukuran, kurang dari setengah luas Jakarta Timur. Tapi punya lebih dari 30 taman kota dan saya suka bawa anak saya ke taman bermain. Sering banget ketemu sesama hijabers yang punya anak, sesudah itu kenalan, dan jadi play date. Ada yang dari Malaysia, Maroko, Jordan, Saudi Arabia. Ada hijaber Amerika kulit putih yang ujug-ujug nawarin masuk rumahnya untuk mampir minum teh karena pas lewat di depan balkon beliau, anak saya lirik-lirikan ama cucunya yang sama-sama balita.

Nah, kalau bicara demografi Texas keseluruhan yang valid berdasarkan statistik, ternyata 40% dari populasi Texas adalah Hispanic dan Latino. Ya, mereka yang berbahasa Spanyol atau berasal dari negara-negara Amerika Latin. Bahkan di Dallas sendiri lebih dari 40%, berdasarkan 2010 Census. Bandingkan dengan tahun 1930 di mana 80% adalah ras kulit putih non-Hispanic. Waktu awal datang ke Amerika Serikat dulu, terus terang saya rada bitter dengan perlakuan terhadap sebagian pendatang ilegal dari Amerika Latin.  Bukan karena sentimen etnis atau apa, tapi semata merasa nggak adil karena saya dari Indonesia harus berkutat dengan aplikasi yang ribet, lama, plus biaya administrasi puluhan juta rupiah hanya supaya bisa tinggal secara legal ikut suami, sementara mereka yang ilegal di sini kok kayaknya asik-asik aja, malah dapat fasilitas. Cerita lengkapnya dulu pernah saya tulis di sini.

Ada kejadian kocak saat kerja bareng temen saya orang  Meksiko yang “murtad” karena nggak bisa bahasa Spanyol. Orangnya cantik bermata hijau, tapi dia sering dikira orang Arab dan diajak ngomong bahasa Arab. Kebalikan sama saya, yang pake hijab harusnya mah dikira bisa bahasa Arab juga, tapi malah suka ditanya “Do you speak Spanish”?.

y0x9ffjb5ze11

 

Bunuh Diri, Rahman dan Rahim

Sedih sekali membaca blog pribadi dari mahasiswa ITB yang mengakhiri hidupnya dengan gantung diri. Dari SD sudah Juara Olimpiade Sains Nasional, dapet beasiswa di SMP dan SMA, melanjutkan S1 dan S2 di Teknik Elektro ITB. Kemampuan akademik cemerlang, testimoni di komentar juga bilang beliau orang alim yang rajin sholat ke masjid. Saya nggak kenal beliau, cuma satu almamater saja. Tapi sebagai penyintas depresi, terbayang beratnya perjuangan beliau yang saya tangkap melalui tulisan-tulisannya.

Yang bikin prihatin adalah, di kolom komentar blognya masih ada aja yang tega ngatain goblok, mati sia-sia, kalo beriman nggak akan depresi dan bunuh diri, dan sebagainya.

Saya ingat sih kalo dalam ajaran agama, bunuh diri itu dosa besar. Tapi terus saya juga ingat, orang yang sakit fisik itu beda sama yang sakit akalnya. Orang sakit fisik sebisa mungkin harus tetap sholat dengan keringanan yang diberikan seperti sholat sambil duduk, sambil berbaring, dengan isyarat dsb. Tapi orang yang sakit akalnya (gangguan jiwa) justru nggak diwajibkan sholat. Karena syarat sholat itu kan harus berakal.

Abis itu saya jadi mikir, kalau bunuh diri karena otaknya lagi sakit, belum tentu berdosa juga, kali ya. Karena perbuatannya terjadi saat akal terganggu, di mana sholat aja kan nggak wajib. Wallahu a’lam. Nggak berani menghakimi, deh. Buat saya yang lebih ngeselin malah orang sehat akal tapi ngata-ngatain orang lain yang sedang tertimpa musibah.

September tahun lalu, pas saya sholat Jumat di salah satu masjid di Texas (di sini biasa perempuan ikut sholat Jumat), khatibnya bicara tentang depresi. Kebetulan di Amerika, bulan September adalah National Suicide Prevention Month. Dan ada kejadian salah satu jamaah masjid bunuh diri juga. Saya masih inget sang khatib bilang: Kalau depresi berobatlah ke ahlinya, misalnya psikiater. Bukan hanya berdoa. Kalau otak lagi sakit, berdoa pun susah khusyuk. Kekuatan iman tentu saja bisa membantu mengatasi tekanan hidup, tetapi bukan berarti yang depresi itu kurang beriman. Ini bisa terjadi kepada siapa saja, bahkan kepada orang yang relatif tidak punya tekanan hidup sekalipun, misalnya orang yang secara bawaan sudah memiliki ketidakseimbangan neurotransmitter di otaknya.

Di situ saya salut dengan sang khatib yang mengatakan “tragedi ini tanggung jawab kita semua”. Artinya, bisa jadi ini juga kegagalan kita sebagai komunitas yang kurang peka terhadap korban, kurang suportif, kurang pengawasan. Alih-alih menyebut korban sebagai contoh manusia kurang beriman, sang khatib justru mengambil tanggung jawab menyadarkan kita semua untuk lebih peka dan berempati. Pengennya sih, masjid-masjid di Indonesia bisa juga menghadirkan topik-topik seperti ini di mimbar Jumat-nya.

Mengutip Pak Bagus Utomo, aktivis kesehatan jiwa dari Komunitas Peduli Schizoprenia Indonesia, “Pemuka agama seharusnya menjadi garda terdepan dalam merangkul mereka yang terkena gangguan jiwa dengan penuh kasih sayang”.  Saya setuju banget. Sesuai dengan ajaran agama yang mendahulukan “rahman dan rahim”, maka pendekatan kasih sayang-lah yang harusnya kita dahulukan, bukan duluan menghakimi korban sebagai contoh manusia “kurang bersyukur”.

Semoga amal ibadah almarhum diterima dan diampuni dosa-dosanya.

8c94b1e8-ad33-4686-b6d6-dfe7c73d7f93

Antara Ghouta, Aleppo, dan Indonesia

Di lab tempat saya bekerja, dulu pernah ada anak SMA magang. Dia muslimah pengungsi Aleppo, Suriah. Saat dia bercerita kepada saya tentang negerinya, pandangannya menerawang, matanya berkaca-kaca. Sambil berkata “politics, politics… it is all because of politics“.

Saya sebenarnya pengen banget menggali dengan kepo pertanyaan yang berkecamuk di otak saya “Yang jahat itu  sebenernya siapa sih, Assad apa pemberontak?”. Tapi saya sadar itu nggak sopan. Sudahlah cukup kesedihannya melihat bangsanya terpecah-belah, ia dan ibu serta adiknya harus mengungsi dan berpisah dengan ayahnya. Nggak penting rasanya menanyakan dia di pihak mana.

Seperti tulisan yang saya kutip dari seorang penulis militer dan perang, Jon Davis, “People need to accept the possibility that two bad people might be fighting one another and that pretty much sucks for everyone“; “Terkadang kita harus menerima bahwa 2 kubu yang sama jahatnya berperang satu sama lain dan itu merupakan kenyataan buruk bagi semuanya.”

Setelah peristiwa di Aleppo, giliran Ghouta, lagi-lagi di Suriah yang kena gempuran. Seperti peristiwa Aleppo sebelumnya,  kejadian ini memporak-porandakan negeri Suriah. Selain simpati berdatangan, perdebatan mengenai siapa yang benar dan siapa yang salah juga mengisi linimasa di media sosial.

Sebenernya saya nggak pengen sok tau mengenai konflik Suriah, cuma dari yang saya baca-baca, baik pihak pro-Assad maupun anti-Assad, pada awalnya itu cuma perbedaan antara 2 kubu dengan konflik sangat klasik:  Kubu pertama yang pro-pemerintah dan merasa negara udah cukup damai, jadi nggak perlu macem-macem; kubu kedua adalah mereka yang masih miskin sehingg merasa diabaikan, merasa dizalimi pemerintah dan ingin mengganti ‘rezim’ saat itu. Di mana-mana itu terjadi. Puas tidak puas dengan pemerintahan sekarang, ya wajar banget!

Juga di Indonesia. Kalau orang luar bertanya “Gimana pemerintahan Jokowi sekarang?”. Jawabannya bisa berbeda-beda tergantung siapa, dari mana, yang ditanya. Ambillah contoh paling ekstrim, dari 2 media berseberangan yang bahasanya heboh dan tidak jelas siapa redaksinya, tetapi followernya sampai ratusan ribu: Mak Lambe Turah dan Portal Islam. Kalau mereka tanya follower fan page Mak Lambe Turah mungkin akan terkesan pemerintah memuaskan, membanggakan, rakyatnya hepi-hepi aja riang gembira dan masih bisa asyik bercanda dan bergosip. Kalau mereka tanya follower fan page Portal Islam, mungkin kita dapati kesan Indonesia sudah dalam keadaan darurat, pemerintah sangat zalim, tidak adil terhadap umat Islam, represif, harga-harga naik dan rakyat menderita.

Lain lagi kalau kita tanya orang-orang di pelosok Indonesia yang belum melek internet dan nggak paham apa itu kubu cebong dan kubu micin, seperti di Pulau Lirang – Maluku Barat Daya, desa Tomuan Holbung kabupaten Keerom Papua, atau desa-desa di kecamatan Nassau, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara. Kemungkinan besar mereka akan sangat berterima kasih pada pemerintah sekarang, dengan alasan yang sama dan sangat simpel: Baru bisa merasakan listrik setelah 72 tahun Indonesia merdeka.

Eniwei, balik ke konflik Suriah. Kita di sini bisa saja berdebat mengenai siapa yang baik dan jahat, Assad sebagai iblis atau pemberontak yang melawan Assad sebagai setan. Yang nggak asik adalah kalau dari perdebatan itu kita ikut-ikutan berantem, padahal sesungguhnya kita tidak tahu detail rumitnya apa yang terjadi di sana. Satu yang kita tahu pasti, anak-anak kecil yang tak tahu apa-apa menjadi korban. Entah itu karena penguasa yang dibeking Rusia dan Iran menyerang rakyat sipil, atau karena pemberontak yang disuplai senjata Amerika, Arab Saudi dan Qatar menjadikan rakyat sipil sebagai tameng.

Seorang teman pernah berkata bahwa konflik di Irak, Libia, dan Suriah dimulai dengan propaganda semacam isu komunis dan sebagainya di kalangan grass root. Ini mengingatkan saya pada ramainya isu komunis di Indonesia sekarang, juga gelombang anti syiah yang ujug-ujug ramai lagi di pertengahan tahun 2014. Kita nggak tau persis ada apa di balik itu, entah pihak luar atau pihak dalam negeri yang bermain. Yang bisa kita lakukan hanya menjaga jangan sampai peristiwa yang sama di Suriah terjadi di Indonesia, siapapun kita. Pro pemerintah ataupun oposisi.

Foto di bawah ini saya ngambil dari internet dan tidak dicantumkan sumbernya. Semoga pembuatnya berkenan saya ambil sebagai ilustrasi.

28166848_10155871496277819_5822634850228120213_n

Resensi Buku: The Epigenetics Revolution

Ini buku pertama yang saya baca di tahun 2018. Judul bukunya adalah The Epigenetics Revolution: How Modern Biology is Rewriting Our Understanding of Genetics, Disease and Inheritance.

WhatsApp Image 2018-02-02 at 4.27.48 PM

 

Pertama kali saya mendengar nama si penulis buku, Nessa Carey, adalah waktu membaca tulisan beliau tentang hubungan antara orientasi seksual dan epigenetik. Pada saat itu headline media-media terkemuka termasuk jurnal-jurnal sains seperti Nature getol mempublikasikan hasil penelitian yang menyatakan “Homoseksual disebabkan oleh Epigenetik”, namun Nessa Carey justru mengkritik penelitian tersebut, yang menurutnya kurang bisa dipertanggung jawabkan dari segi metode statistik maupun dari segi ‘konsekuensi moral dan politis’ yang mungkin ditimbulkannya.

Hasil penelitian ini dikontra dari kedua pihak yang biasanya berseberangan: kaum liberal dan kaum konservatif.  Dari kalangan konservatif  berpendapat bahwa penelitian ini ‘hanya pembenaran’ untuk homoseksual meyakinkan dunia bahwa ‘I was born this way’ dan bukan karena lingkungan. Di sisi lain berkembang wacana bahwa justru karena ini epigenetik, bukan semata ‘genetik’, maka sifatnya reversible, dipengaruhi lingkungan dan ada kemungkinan untuk diubah. Namun kaum liberal yang beranggapan LGBT bukan penyakit justru tidak terima, karena walaupun seandainya bisa disembuhkan, orientasi seksual tetap bukan penyakit dan tidak perlu ‘diobati jadi normal’.

Salah satu perdebatan di Indonesia yang masih sering muncul adalah apakah orientasi seksual itu ‘genetik vs lingkungan’ atau ‘nature vs nurture’. Namun pertentangan ‘nature vs nurture’ jadi terasa usang, setelah berkembangnya disiplin ilmu biologi yang cukup revolusioner yang disebut “Epigenetik”.

Seperti yang saya duga, bagian pertama buku ini sangat menarik dan membuat saya tidak ingin berhenti membaca. Nessa Carey mengawalinya dengan miskonsepsi publik ketika proyek pemetaan genom manusia baru diselesaikan. Publik mengira setelah kita mengetahui kode genetik atau urutan DNA maka segalanya akan lebih mudah. Tetapi makhluk hidup bukanlah sekedar urutan DNA  yang menyusunnya. Ia menganalogikan DNA yang menyusun kita hanya sebagai naskah, seperti naskah Romeo & Juliet karya Shakespeare. 2 film yang berasal dari naskah yang sama, bisa memiliki hasil akhir yang sangat berbeda, seperti film Romeo & Juliet tahun 1936 dan versi lebih baru yang dibintangi Leonardo DiCaprio dan Claire Danes. Cara membaca naskah, menyamarkan suatu bagian dan memberi penekankan lebih pada bagian yang lain, dianalogikan dengan cara sel mengekspresikan kode genetik pada DNA.  Kode genetik yang persis sama pada kembar identik, bisa diekspresikan dengan cara berbeda, dan menghasilkan salah satu kembar menderita penyakit mental schizophrenia dan satunya tidak. Faktor lingkungan, baik dalam  kandungan maupun setelah lahir dapat mempengaruhi ekspresi gen seseorang. Nurture dapat mempengaruhi nature. Lingkungan dapat mengubah ekspresi gen. Hal inilah yang menyebabkan mengapa trauma masa kecil begitu membekas dan dapat menyebabkan seseorang menderita penyakit mental seperti depresi saat ia dewasa. Nessa Carey menjelaskan secara molekuler, mekanisme apa yang membuat faktor lingkungan seperti pola asuh yang buruk pada masa kecil, bisa mengubah struktur zat-zat kimia yang mempengaruhi ekspresi gen pengatur kerja otak. Lebih menakjubkannya lagi, perubahan ekspresi gen yang didapat karena pengaruh lingkungan, bisa diturunkan ke generasi sesudahnya. Jadi, kalau ada orang yang mengalami depresi padahal ia tidak pernah mengalami trauma, bisa jadi orang tuanya-lah yang mengalami trauma dan menurunkan cara sel mengekspresikan gen pada anaknya, walaupun anaknya tidak pernah mengalami trauma. Nutrisi juga berpengaruh pada ekspresi gen. Kawanan lebah madu Apis mellifera mempunyai kode genetik yang persis sama, tetapi yang satu bisa berubah menjadi lebah pekerja, yang lain bisa berubah menjadi ratu lebah, yang jelas berbeda secara bentuk dan fungsi. Ini karena ratu lebah terus meminum royal jelly dan lebah pekerja stop mengkonsumsi royal jelly pada usia 3 hari dan berganti meminum pollen dan nektar. Perubahan nutrisi ini menyebabkan perubahan molekuler yang relatif simpel, namun membuat ekspresi gen pada keduanya begitu jauh berbeda.

Epigenetik juga bisa menjelaskan kenapa Dolly, domba hasil cloning itu sakit-sakitan dan tidak sesehat ‘orang tua’nya, tetapi anak-anak Dolly bisa sehat seperti ‘nenek’nya. Dolly diciptakan dari transfer inti sel dari sel somatis (sel selain sel reproduktif) ke dalam sel telur. Inti sel ini kemudian kehilangan suatu proses yang disebut ‘pemrograman ulang’, yang biasanya terjadi saat sel sperma membuahi sel telur secara alami. ‘Pemrograman ulang’ ini sebenarnya adalah proses dimana ditentukan gen mana yang diekspresikan dan mana yang tidak, dan seberapa besar ekspresinya.

Semua contoh kasus yang disebabkan fenomena epigenetik dijelaskan secara molekuler dengan gamblang, malah kadang terlalu detail dan teknis, cukup membuat yang model kayak saya ini jadi agak-agak keblinger membacanya.

Cukup banyak kalimat seperti “Blimp1 expression is controlled by a complex interplay between Lin28 and let-7”. Atau “If the PIWI ncRNAs and PIWI proteins don’t interact properly, the testes in male foetus don’t form normally”.  Kalau kita tidak menyimak benar bab sebelumnya, kita tidak mengerti apa itu ncRNA, yang mana Blimp1, yang mana Lin28, dan sudah pasti susah mencernai bab selanjutnya. Tapi jangan takut, ada glossary yang selalu bisa membantu kita memahami kalimat bila kita lupa arti kata-kata yang menyusun kalimat itu. Pada bagian yang sangat teknis begini saya kerap membaca lebih dari sekali dan bolak balik menengok glossary hingga benar-benar mengerti.

Di bagian terakhir Carey menjelaskan mengenai kaitan kanker dengan penuaan, dan mengapa penyembuhan kanker begitu sulit. 2 pasien yang memiliki kanker yang kelihatannya sama, penyebab sakitnya secara molekuler bisa sangat berbeda. Maka penyembuhannya juga tidak bisa sama persis. Selain itu, riset yang melibatkan manusia juga sangat mahal dan membutuhkan waktu yang lama, hingga sulit ditemukan obat yang cocok untuk banyak orang.

Akhirnya, buat yang ingin tahu mengenai dasar epigenetik, buku ini boleh buat rekomendasi. Tetapi, sekali lagi, jangan merasa terintimidasi dengan banyaknya paparan teknis di bagian tengah buku ini. Membaca buku ini seperti membaca buku teks yang disederhanakan, penuh dengan analogi-analogi yang memudahkan kita memahaminya. Bagus buat siapa saja yang pingin tahu detail dan mendasar tentang bagaimana mekanisme molekuler dari ekspresi gen mempengaruhi kehidupan kita, dan sebaliknya, bagaimana lingkungan dapat mengubah ekspresi gen kita.

Ketika Nikmat ‘Waras’ itu Dicabut: Pengalaman Melawan Psikosis dan Depresi Pasca Melahirkan (3)

BAGIAN KE-3 (TERAKHIR ) DARI 3 TULISAN

Berjuang melawan efek samping obat.

Berikut ini saya terjemahkan peringatan yang tercantum dalam leaflet obat anti depresi yang saya konsumsi, Fluoxetine (Prozac):

“Tablet Fluoxetine dan obat anti depresi lainnya dapat menyebabkan efek samping serius, termasuk dapat meningkatkan keinginan dan tindakan bunuh diri dalam beberapa bulan pertama atau ketika dosis dinaikkan”.

Terdengar aneh? Buat saya yang awam, iya. Kenapa obat anti depresi malah bisa meningkatkan pikiran dan tindakan bunuh diri? Rupanya awal pemberian obat anti depresi memang dapat menimbulkan apa yang disebut ‘jitteriness syndrome: cemas, gelisah, susah duduk diam, sehingga bisa memicu pikiran dan tindakan nekat. Ini yang disebut ayah mertua saya dalam bagian pertama tulisan ini sebagai “getting worse before getting better”. Gejala akan bertambah parah sebelum obatnya mulai menunjukkan hasil. Di sinilah kesabaran keluarga yang mendampingi saya diuji.

Sepulang dari rumah sakit, saya dan Keeva tinggal di rumah mertua, suami tetap tinggal di apartemen. Saya bahagia saat akhirnya bisa berkumpul kembali dengan Keeva, tetapi ikatan emosi padanya belum sepenuhnya pulih. Malam hari saya merasa lebih baik dia tidur dengan ibu mertua supaya saya bisa beristirahat. Alhamdulillah, buat ibu mertua, cuti menjaga Keeva merupakan refreshing dari kerjanya dan ia sangat menikmatinya. Energinya sangat positif, walau ia bukan muslim ia kerap mengingatkan saya untuk tetap sholat.  Saat itu kemajuan yang saya rasakan adalah bisa tidur nyenyak. Tetapi kecemasan saya bertambah, terkadang mondar-mandir tidak bisa diam. Mandi dan berpakaian seperti tugas berat, karena saya gelisah melihat pakaian kotor. Saya membuat ibu mertua khawatir dengan jungkir balik di kasur dan meracau bahwa saya tidak pantas ditolong. “Kalau mau tolong Keeva, tolonglah Keeva. Biarkan saja saya”. Pada waktu itu saya juga tidak mengerti mengapa saya bersikap seperti itu. Ayah mertua saya yang pharmacist nampaknya sudah paham bahwa ini efek samping obat, ia bertanya kapan saya menemui kembali psikiater? “Kemungkinan nanti dosis kamu ditambah atau obatnya diganti.” katanya.

Satu lagi, saya terkadang seperti tidak merasakan sedih atau senang. Datar saja tanpa emosi. Ketika kakak saya, Ades, membawa kabar gembira bahwa visa kunjungannya disetujui, ibu mertua saya dan suami yang peluk-pelukan bahagia. Saya malah datar saja. Saat Ades minta saya menulis daftar apa saja yang mau dibawakan dari Jakarta, saya malah tidak kepingin apa-apa. Padahal perjuangan Ades dimulai dari membuat e-paspor sampai harus antri berhari-hari, baru berhasil pada hari ke-5 dimana akhirnya mengantri dari jam 2 pagi. Kemungkinan diterimanya juga belum jelas. Ketika itu Donald Trump baru terpilih dan Indonesia termasuk dalam watch list negara yang dibatasi jumlah visa kunjungannya. Di luar itu, untuk mendadak pergi dari Jakarta, sebenarnya Ades pun harus meninggalkan sejumlah urusan penting yang belum tuntas.

Hari yang dinanti itu tiba. Saya, suami dan Keeva menjemput Ades dari bandara. Saat di parkiran, perasaan tidak enak itu muncul lagi. Saya ingin lari keluar dari mobil dan tidak bisa duduk diam. Suami bukan main khawatirnya. Apalagi saat itu ia dan Keeva tinggal di mobil dan saya sendiri yang mencari Ades di bandara. Saat berlari dari satu terminal ke terminal lainnya mencari Ades, saya merasa menjadi diri saya sendiri. Akhirnya saat saya melihat Ades, saya segera memeluknya sambil menangis. Ya, saya bisa menangis! Setelah sekian lama saya merasa tanpa emosi, saya gembira sekali akhirnya bisa mengeluarkan air mata.

My sister, my hero.

Setelah kakak saya Ades datang, saya dan Keeva kembali tinggal bersama suami di apartemen. Kalau ada penghargaan orang paling keras kepala dan pantang menyerah sekaligus selfless berkorban untuk kepentingan orang lain, mungkin saya akan menganugerahkannya pada Ades. Ialah yang harus menghadapi hari-hari awal di mana efek obat saya “getting worse before getting better”.  Bagaimana tidak, saat ia datang membawakan oleh-oleh dari keluarga dan teman-teman di Jakarta, saya bukannya bergembira dan berterima kasih, malah super cemas karena tidak tahu mau disimpan di mana oleh-oleh sebanyak itu. Saya juga panik melihat tumpukan baju kotor darinya. Ada banyak kecemasan-kecemasan kecil terhadap hal-hal yang sebelumnya sama sekali bukan masalah bagi saya. Ini juga merupakan karakteristik depresi. Saat ia baru datang dan masih  jetlag, saya malah meninggalkannya tidur bersama Keeva. Saya keluar dan memandang jembatan jalan layang dan berpikir untuk menjatuhkan diri dari jembatan. Kira-kira kalo jatuh langsung mati nggak ya?, kurang tinggi nggak ya jembatannya, pikir saya waktu itu berkalkulasi. Untung suami menelpon saya karena Ades memberitahunya. Akhirnya saya balik lagi ke apartemen. Kebayang paniknya Ades saat bangun tidur siang, karena saya tidak ada di apartemen, dan dia baru saja datang sehingga tidak tahu harus mencari kemana. Yang paling horror tentu saja saat ia menemukan saya di kamar, dengan kabel listrik dari lampu tidur terjerat di leher saya. Satu lagi, ia juga memergoki saya mengambil pistol suami.  Sebelum minum obat ini, saya hanya merasakan pikiran bahwa Keeva lebih baik tanpa ibunya, saya benci diri saya, mendingan saya meninggalkan Keeva. Tetapi tidak sampai memikirkan metode, apalagi melakukan tindakan. 3 kali Ades menyelamatkan saya dari tindakan bodoh itu. Kalau tidak ada dia mungkin Keeva sudah tidak punya ibu. Banyak sekali ‘dosa’ saya sama Ades, saya cuma berharap Tuhan mengampuni karena saya masih ‘sakit’. Yang ada di pikiran saya waktu itu: Sekarang sudah ada Ades, biarlah Ades yang merawat Keeva, dia lebih telaten, dia lebih berhak punya anak daripada saya. Biarlah saya pergi saja. Twisted banget kan? Berbagai upaya diusahakan kakak dan suami untuk meluruskan twisted mind ini. “Terus, kalo mati, ntar Ades dong yang repot bawa mayatnya ke Jakarta? Harus bilang apa sama mama papa?”. Suami sampai mengancam “Kalau kamu bunuh diri saya akan bilang Keeva bahwa ibunya melakukan itu karena benci pada anaknya”.  Kami jadi cukup sering terlibat dalam pembicaraan yang penuh dengan muatan emosi naik turun. Melelahkan untuk semua.

Kalau ingat sekarang rasanya malu, tetapi saya rasa episode ini penting diceritakan untuk menunjukkan bahwa pendampingan sangat diperlukan dalam tahap awal konsumsi obat anti depresi. Kita tidak pernah tahu seburuk apa efek getting worse itu pada tiap pasien.

Selain pikiran saya yang masih kacau, saya juga menderita sakit fisik di tangan hingga dalam posisi tertentu tidak bisa mengangkat Keeva. Seperti ada kejutan listrik di kedua pergelangan tangan. Dokter umum di Dallas mendiagnosa bahwa ini Carpal Tunnel Syndrome biasa, ia memberikan obat anti peradangan dan menyuruh saya membebat tangan saya dengan splint. Tapi sampai beberapa bulan tidak kunjung membaik, malah bertambah nyeri. Belakangan dokter bedah tulang di Rumah Sakit Islam Pondok Kopi Jakarta-lah yang memberikan diagnosa dan tindakan yang lebih tepat. Namanya De Quervain syndrome, atau mommy thumb. Rupanya si dokter sendiri pernah mengalaminya sampai  harus dioperasi. Sering terjadi pada ibu baru melahirkan karena terlalu sering mengangkat bayi, dan umumnya terjadi setelah 3 bulan melahirkan saat berat bayi sudah mulai meningkat. Faktor usia saya yang sudah 40, bertubuh kecil dengan bayi yang besarnya di atas rata-rata juga memperbesar resiko. Saya datang pada saat yang tepat, saya hanya di suntik steroid di tendon pergelangan tangan. Untunglah, kata dokter, telat sedikit saya mungkin harus dioperasi.

Dengan keadaan yang sulit mengangkat Keeva pada saat itu, tentu saja keberadaan kakak saya sangat berarti. Kehadirannya bukan hanya membantu saya dalam merawat Keeva, tetapi juga menyadarkan kembali saya akan pentingnya bentuk-bentuk ikhtiar lainnya untuk mencapai kesembuhan, selain minum obat. Ia menunjukkan video di YouTube tentang berbagai macam kasus depresi dan psikosis pasca melahirkan, seperti seorang perempuan terkena delusi aneh sampai yakin bahwa bayinya sudah mati. Ia menunjukkan keadaan perempuan itu sekarang baik-baik saja dan anaknya sehat, meyakinkan bahwa saya juga bisa sembuh seperti dia. Ades juga merukyah saya, mengajak saya yoga, membawakan buku-buku doa, air zam-zam dari temannya, mencoba menghubungkan kembali saya dengan teman-teman Indonesia di Dallas, bahkan membuatkan minuman kunyit setiap hari.

Kenapa kunyit? Ternyata dari jurnal ilmiah yang ia baca, kunyit sudah dicobakan pada penderita depresi. Terbukti bahwa gabungan kunyit + fluoxetine yang saya minum memberikan efek lebih baik sebagai anti depresi, daripada hanya minum fluoxetine saja. Kunyit juga mengaktifkan gen yang memproduksi antioksidan, membantu organ hati mengeluarkan racun dan menghambat peradangan yang menyebabkan fungsi otak terganggu. Sebagaimana kita ketahui, depresi terjadi karena ketidakseimbangan senyawa kimia di otak. Dengan khasiat anti peradangan itulah kunyit membantu meningkatkan kemampuan regenerasi sel otak, menaikkan kemampuan otak meregulasi hormon dan memproduksi serotonin, senyawa yang dibutuhkan untuk menanggulangi depresi. Mungkin inikah salah satu sebabnya perempuan Indonesia jaman dulu lebih jarang terkena depresi? Mereka rajin minum jamu usai melahirkan, juga banyak menggunakan kunyit pada bumbu makanan sehari-hari, selain tentu saja sinar matahari yang berlimpah dan tradisi yang jarang membiarkan ibu baru melahirkan mengasuh bayinya sendirian.

ades dan keeva

Ades dan Keeva, Maret 2017, di apartemen kami.

Dosis dan jenis obat ditambah.

Pada kunjungan psikiater rawat jalan yang pertama kali setelah saya keluar dari rumah sakit, saya menceritakan semua percobaan bunuh diri yang saya lakukan dan bagaimana saya malah merasakan cemas dan gelisah yang bertambah.

Dari situ diagnosa terakhir saya adalah “Major Depressive Disorder, severe with Psychotic Features”, depresi saya sudah mencapai taraf ‘severe’ alias parah. Artinya pengobatan tidak atau belum menunjukkan respon positif. Dokter mengajukan 2 alternatif: 1. Meningkatkan dosis obat, 2. Mencoba electroconvulsive therapy, yaitu menyetrum otak dengan arus listrik saat pasien dalam keadaan bius total. Terapi ini harus dilakukan 3 minggu sekali dan efek samping yang mungkin terjadi adalah kebingungan dan kehilangan ingatan terhadap hal-hal yang terjadi sebelum terapi. Dari situ suami dan saya memilih untuk meningkatkan dosis obat, karena secara waktu terasa lebih mungkin dilakukan, lagipula ngeri membayangkan memory loss akibat kejutan listrik.

Selain meningkatkan dosis obat, dokter menambahkan lagi satu obat, lorazepam, sebagai penenang jika diperlukan. Fungsinya untuk mengcounter efek samping awal dari fluoxetine yang menyebabkan jitteriness syndrome yang saya alami. Saya pikir:  duh, repot banget ya, efek samping obat A musti dicounter dengan obat B, nanti obat B ada lagi efek sampingnya dan harus minum obat C. Sungguh rumit, inilah makanya saya dari dulu menghindari minum obat.

Untungnya, lorazepam ternyata cocok buat saya. Efeknya langsung terasa beberapa saat setelah meminumnya. Saya merasa optimis dan seperti bisa menjadi diri sendiri lagi. Menurut Ades, obat itu digunakan kriminal untuk merampok bank, supaya bisa tenang dan menghilangkan cemas dalam menjalankan misinya. Dengan bantuan obat ini, banyak kemajuan yang bisa dicapai sehingga saya mulai pede keluar dan mengajak Ades jalan-jalan keliling Dallas. Kami pergi ke museum-museum dan taman-taman di Dallas. Ades juga saya kenalkan dengan beberapa rekan kerja saya, salah satunya Harianne, seorang ibu berusia 70 tahun. Ia suka membawakan saya makanan dan menemani saya di apartemen saat kondisi saya kritis dan merasa tidak bisa menjalani hari sendiri. Saya selalu membawa lorazepam untuk berjaga-jaga. Saat kami pergi ke kedai kopi, di perjalanan saya merasa jitteriness syndrome muncul lagi sehingga terpaksa mengkonsumsi lorazepam. Hasilnya setengah jam kemudian saya merasa enak. Saat itu saya bahkan berkata pada Ades, “Seandainya harus minum obat ini seumur hidup, rela aja deh, yang penting bisa menikmati mengasuh Keeva”. Kebayang nggak, pernyataan ini muncul dari seorang yang dulu paling ogah minum obat. Perasaan saya antara senang bisa berfungsi dengan normal, tapi juga takut kecanduan. Kadang saya paksakan tidak meminumnya sampai saya merasa benar-benar tidak mampu. Saya tidak ingin nantinya ketergantungan obat.

Berhubungan kembali dengan keluarga dan teman-teman.

Ades kemudian menceritakan rencananya mengajak saya ke Houston bertemu temannya untuk refreshing dan melakukan rukyah dengan seorang Ustadz kenalan teman tersebut, sekalian untuk latihan bepergian naik pesawat dengan membawa Keeva.  Ia bertekad membawa saya pulang ke Jakarta menemui keluarga. Katanya, kalau perjalanan udara yang dekat ke Houston (1 jam) bisa saya dan Keeva lalui, kita bisa lanjut ke perjalanan jauh ke Jakarta. Mulanya saya menganggap rencana Ades membawa saya ke Jakarta masih terlalu ambisius, tetapi ternyata kondisi saya terus membaik dan saya mulai merasa pede untuk bepergian.

Berkat Ades akhirnya Keeva bisa naik pesawat pertama kali ke Houston. Sedikit-demi sedikit, kemampuan kognisi saya mulai pulih, dan paranoid saya mulai menghilang. Saya mampu browsing internet untuk mencari cara membuat paspor anak, dan pergi sendiri ke kantor layanan publik mengurus akte kelahiran untuk paspor Keeva, tanpa mengalami kelelahan mental yang berlebihan.

Alhamdulillah, keadaan saya makin membaik dan akhirnya pelan-pelan saya mampu packing untuk perjalanan jauh ke Jakarta. Keeva ternyata bayi yang sangat gampang, sama sekali tidak menyusahkan dalam perjalanan 26 jam dari Dallas – Dubai –  Jakarta. Malah saya yang menyusahkan, karena waktu itu saya tidak meminum lorazepam. Padahal ini merupakan perjalanan panjang dan berat. Walhasil saya sama sekali tak bisa tertidur dan banyak memarah-marahi Ades. Ketika akhirnya saya sadar, saya sangat menyesal. Saya bertanya,”Kenapa Ades baik dan sabar banget sih?” Jawabannya amat menohok, “Karena cuma dengan jadi orang baik Ades bisa berkumpul di surga dengan anak Ades nanti”.  Oh ya, saat kondisi lelah tanpa tidur ini Ades putuskan untuk membuka kamar di hotel transit di bandara Dubai. Ia meminta saya untuk mencoba istirahat dan tidur. Di sini pentingnya pendampingan saat dalam terapi, karena seringkali saya tidak bisa berpikir jernih dan kurang bisa membuat keputusan yang akurat terhadap hal-hal yang dihadapi.

Kedatangan Keeva di Jakarta sangat menyenangkan orang tua dan keluarga saya, disusul kunjungan saudara dan teman-teman saya ke rumah kami di Pondok Kelapa yang ingin melihat Keeva.  Keeva seolah-olah menjadi perantara yang memungkinkan kembali saya bertemu kembali teman-teman SMP, SMA, kuliah dan kantor yang sudah lama tidak bersua. Suasananya betul-betul seperti lebaran. Kami menghabiskan waktu sebulan di Jakarta, sebelum akhirnya Ades mengantar saya dan Keeva kembali ke Dallas.

Sepulangnya dari Jakarta, saya mulai berhubungan lagi dengan orang-orang Indonesia di Dallas, pergi ke rumah sahabat saya Leyla untuk makan-makanan Indonesia bareng-bareng. Leyla adalah orang yang pertama tahu bahwa saya masuk rumah sakit, dari suami saya. Suami ketika menyadari saya seperti bukan diri saya, ia menghubungi Leyla untuk menanyakan apakah Leyla merasakan hal yang sama. Semua dilakukan tanpa sepengetahuan saya. Tetapi Leyla diwanti-wanti oleh suami untuk tidak memberitahu siapa-siapa, karena ingin menjaga privacy saya. Saat itu saya masih paranoid, mencurigai Leyla sebagai salah satu teman yang ngomongin dan menertawakan saya. Setelah kejadian ini sayapun baru tahu, saat itu Leyla merasa dilema antara ingin memberitahu teman-teman lain di Dallas untuk membantu, tetapi juga tidak ingin ikut campur. Di sini saya juga telat menyadari pentingnya mengakui kalau kita punya masalah dan butuh pertolongan. Saat keluarga kita jauh di sana, teman-teman dekat kitalah yang bisa menjadi keluarga kita di sini.

Penutup.

Saat saya menulis ini, keadaan saya sudah jauh membaik, bisa dibilang 95%. Saya masih harus mengunjungi psikiater 4 bulan sekali.  Dari 4 jenis obat yang saya minum di awal, sekarang hanya tinggal 1 saja, dan psikiater baru akan mengurangi dosisnya bulan Januari 2018 nanti, untuk kemudian distop sama sekali.

Usia Keeva sekarang 14 bulan, ia senang sekali bermain dengan tupai, burung, bebek dan anjing. Ia sudah bisa berjalan dan membantu mamanya menaruh cucian piring bersih:

 

 

 

 

Ketika Nikmat ‘Waras’ itu Dicabut: Pengalaman Melawan Psikosis dan Depresi Pasca Melahirkan (2)

BAGIAN KE-2 DARI 3 TULISAN

Bergaul dengan sesama penderita gangguan mental.

Pada awalnya, rumah sakit menyediakan pompa ASI agar saya bisa memompa ASI dan dibawa pulang suami untuk Keeva. Namun ternyata, saya harus meminum 3 jenis obat yang tidak aman untuk ibu menyusui. Akhirnya sayapun membuang jauh ambisi menyusui Keeva sampai 6 bulan dan harus menentukan skala prioritas. Obat yang diberikan adalah obat anti psikosis dan insomnia (Olanzapine), obat anti depresi (Fluoxetine) dan obat tidur tambahan bila perlu (Trazodone). Dulu saya sering dikatain ‘pelor’: nempel molor, atau kebluk, karena bisa tidur gampang di manapun, kapanpun, dan kalau sudah tidur susah dibangunkan. Saya benar-benar merindukan nikmat yang satu itu. Sekarang mau tidur saja harus pakai obat. Tapi Alhamdulillah, setidaknya obat ini bekerja. Selama di rumah sakit ini akhirnya saya merasakan nikmatnya tidur nyenyak.

Mulanya saya sedikit syok karena unit psikiatri Green Oaks tempat saya tinggal ini lebih mirip penjara. Ruang tamu di tengah-tengah, dikelilingi kamar-kamar pasien, setiap kamar dihuni 2 orang. Semua ruangan sama sekali tidak ada jendela, seperti tidak ada hubungan dengan dunia luar. Kamar mandi dikunci dan harus memberitahu pengawas bila ingin menggunakan. Saya harus berbagi kamar mandi dengan belasan ‘pesakitan’ lainnya. Jilbab saya ditahan, tidak boleh dikenakan karena takut dipakai mengikat leher untuk bunuh diri. Penggunaan telepon genggam tidak diperbolehkan. Untungnya saya masih diperbolehkan menelpon keluarga di Jakarta lewat Whatsapp, di bawah pengawasan petugas.

Saya melihat berbagai macam orang sakit, dari mulai yang ‘hanya’ alkoholik biasa dan masih bisa diajak ngobrol, sampai yang terus-terusan jalan berkeliling membentuk lingkaran dengan tatapan kosong, atau berkali-kali menjatuhkan diri sehingga harus disuntik obat penenang. I learned the hard way, kalau depresi, sebagaimana gangguan mental lainnya, ternyata bukan penyakit ecek-ecek, dan bisa berakibat tambah parah kalau tidak segera ditangani. Ada yang mengalami stress tingkat tinggi karena gagal masuk sekolah kedokteran hewan,  tiap hari ia mengoceh dengan kosa kata yang sangat sophisticated. Ada yang tidur terus seharian di ruang tamu, tidak pernah ke kamar mandi sampai (maaf) bau pesing. Ada juga yang hobinya mengatur pasien lain, menyuruh kami semua berbaris dan selalu memanggil saya ‘anak kecil’. “Hey you, you are a kid not an adult. Why are you here? Where are your parents?”.  Ada mbak-mbak kulit hitam yang selalu memandang saya sambil bilang “you are so pretty”, “you don’t look that crazy, why are you here?”. Saya jadi ngeri ketika harus berpapasan di kamar mandi dengannya. “What is your sign?”. Saya jawab takut-takut “Pisces”. Dan dia bilang “Really? I used to have a Pisces girlfriend”. So creepy, apalagi tempat mandi di sini terdiri dari bilik-bilik tanpa pintu, hanya gorden saja. Benar-benar tidak ada privacy.

65999858-Mental-hospital-patient-sitting-on-a-floor-in-a-white-room-Stock-Photo

Pertama kali suami diperbolehkan menjenguk saya, ia sangat terpukul melihat itu semua. Selain karena jam besuk hanya sejam dan hanya 2 kali seminggu, ia tidak bisa tidur membayangkan saya harus berkutat di ruangan sesempit itu dan disuguhi pemandangan berbagai macam ulah pasien lainnya. Katanya, berada di tempat itu untuk beberapa saat saja langsung membuatnya trauma, bagaimana bisa tega membiarkan saya berlama-lama? ‘Kumpul dengan orang-orang lunatic, bisa jadi kamu tambah sakit, bukan tambah sembuh’, katanya.  Saya akui memang keadaannya tidak menyenangkan, tetapi di satu sisi, bisa mengamati orang lain yang kondisinya terlihat lebih parah dari saya, membuat saya merasa jauh lebih bersyukur. Somehow it humbled me in many ways, bahwa jangan pernah lagi menjudge penderita sakit mental, kita tidak tahu persis apa yang membuat mereka demikian, mereka butuh dukungan, dan you never know you can be one of them. Kita tidak bisa memilih nikmat mana yang akan Tuhan cabut dari kita.

Dipindahkan ke rumah sakit lain.

Setelah menjalani 3 malam di Green Oaks Medical City, suami akhirnya memindahkan saya di fasilitas yang lebih ‘manusiawi’. Saya ditransfer ambulans ke Zale Lipshy University Hospital, yang jaraknya lebih dekat ke apartemen kami dan saya boleh dijenguk tiap hari. Fasilitasnya memang sangat jauh berbeda dengan tempat sebelumnya. Dari segi ukuran mungkin 10 kali lebih besar.  Di ruang komunitasnya ada alat-alat fitness, segudang buku bacaan dan majalah dari mulai buku self-help sampai National Geographic, TV dan video, board games sampai grand piano. Jendelanya besar sampai ke langit-langit sehingga pasien tidak merasa ‘terkurung’. Kamar mandi ada di dalam kamar dan saya bisa menggunakannya kapan saja, tidak harus melapor petugas dan tidak perlu berbagi kamar mandi dengan belasan pasien lainnya. Semua kamar dilengkapi dengan kamera video yang diawasi 24 jam. Saat saya sholat, petugas datang mengecek apakah saya baik-baik saja. Rupanya kegiatan sholat yang terpantau dari kamera pengawas terlihat seperti ritual aneh karena saya menggunakan selimut untuk jilbab/mukena. Seperti di fasilitas sebelumnya, disini jilbab saya juga disita karena bisa menjadi alat untuk mencekik leher/membunuh diri. Menu makanan boleh pilih sendiri, menunya pun menu sehat yang unik seperti di fusion restaurant, bukan seperti makanan ‘penjara’ di tempat sebelumnya yang semua seragam dan seadanya. Karena tempatnya luas, pasien tersebar dan tidak ‘menumpuk’ di satu tempat. Mereka juga kelihatan tidak separah pasien di rumah sakit sebelumnya. Psikiaternya tidak hanya 1 tapi 3 orang dan semua mendengarkan saya dengan sangat baik, tidak terburu-buru seperti psikiater di tempat sebelumnya. Semua kondisi dan fasilitasnya jauh lebih baik, kecuali satu: saya tidak bisa berkomunikasi dengan keluarga di Jakarta menggunakan Whatsapp seperti di tempat yang lama. Di sinilah saya merasa, fasilitas semewah apapun juga tidak ada artinya jika tidak ada dukungan keluarga. Ayah dan Ibu saya juga panik, sempat protes kenapa saya dipindahkan dan sampai meminta suami tidak menyembunyikan sesuatu dari mereka, karena saya mendadak tidak bisa kontak lagi dengan mereka.

Untunglah, suami sukses membujuk perawat untuk mengerti keadaan saya. Akhirnya saya diperbolehkan menggunakan telpon internasional untuk memberitahukan keluarga di Jakarta  bahwa saya ‘baik-baik saja’. Kabar gembira bahwa kakak saya, Ades, sedang dalam proses aplikasi visa Amerika Serikat untuk mengunjungi saya. Sebelum masuk rumah sakit, kalau saya lagi ‘galau’ paling enak memang telepon beliau. Kebetulan dia seorang psikolog. Ades pernah punya anak yang meninggal dalam usia kandungan 5 bulan, dan ia sendiri koma selama beberapa minggu. Sampai saat ini ia belum dikaruniai anak lagi. Pengalaman koma ini membuatnya jadi orang yang positif dan penuh syukur karena ‘masih diperbolehkan hidup’. Ia yang paling bisa memberikan pandangan yang logis dan tidak menghakimi saya, juga nasihat yang berimbang antara ikhtiar menggunakan obat dengan ikhtiar mendekatkan diri pada Allah.

Bukan apa-apa, penyakit seperti ini kan sering dituduh, “ah elu mah kurang bersyukur” atau “kok bisa kepikiran bunuh diri, kayak nggak punya Tuhan aja. Obatnya istighfar aja!” Apalagi terkadang ibu-ibu doyannya suka membanding-bandingkan siapa yang paling kuat. “Ah gue dulu juga lebih susah, udah ada anak pertama”, “Keeva mah baik-baik aja, gue lebih berat karena anak gue bermasalah”,  dan sebagainya. Ini yang terkadang membuat saya enggan untuk curhat sembarangan. Takut dikira cengeng. Dengan Ades saya nggak pernah malu untuk ‘cengeng’. Padahal kalau mau, ia bisa saja memainkan kartu: “Cemen amat lu, masih untung depresi tapi masih punya anak. Gue udah kehilangan anak, depresi pula”. Tapi itu tidak ia lakukan. Bagaimana sabarnya ia harus mendampingi adiknya yang sakit ini bisa disimak nanti.

Setelah 3 malam di Zale Lipshy, saya diperbolehkan pulang dengan syarat: harus ada keluarga yang mendampingi saya mengasuh Keeva. Kondisi harus dipantau terus oleh psikiater rawat jalan sampai saya mampu mengasuh Keeva sendiri.  Psikiater menambahkan 1 resep lagi yaitu vitamin D dosis tinggi, juga meyakinkan kalau saya mengerti bahwa efek samping dari obat tidur Trazodone adalah konstipasi, efek samping obat psikosis Olanzapine adalah penambahan berat badan dan kadar gula darah. Ia mau saya mengerti sebelum komplain belakangan. Saat dirawat itu berat saya menurun drastis, bahkan lebih ringan dari berat saya sebelum hamil. Depresi memang mengakibatkan tidak minat makan (atau makan berlebihan buat sebagian orang). Jadi saya pikir, biarlah tambah berat badan, saya lagi butuh. Lagian saya juga nggak ada masalah dengan gula darah. Di situ saya baru nyadar bahwa ternyata saya nggak bisa ngejudge orang Amerika yang gemuk-gemuk ini melulu karena makan junk food dan malas olahraga. Bisa jadi mereka gemuk karena efek samping obat psikosis semacam ini, karena di Amerika Serikat angka penderita gangguan mental tergolong tinggi. Belakangan saya baru baca bahwa penderita schizophernia harus minum obat ini seumur hidup, agar bisa berfungsi normal sehari-hari. Nah kebayang, berat badan dan gula darah harus dipantau terus. Kasarnya, pilihannya gemuk dan sakit gula atau ‘gila’? Soal efek samping obat ini memang rumit. Makanya buat yang sehat, bersyukurlah dan jaga terus kesehatan supaya nggak perlu minum obat dengan segala macam efek samping seperti ini.

Saat akhirnya saya pulang ke rumah, ternyata perjuangan belum selesai. Ada satu lagi efek samping obat yang sangat membahayakan dan luput dijelaskan dokter. Baru saya sadari setelah mengalami sendiri dan membaca brosur obatnya.

Bersambung ke Bagian ke 3 : Berjuang melawan efek samping obat

Sedikit catatan.

Seorang teman praktisi dan pengamat kesehatan mental menganjurkan agar kata waras pada judul tulisan saya ini tidak dipergunakan lagi sebagai lawan dari gangguan mental. Karena ini akan memperparah stigma bahwa orang yang sakit mental itu selalu tidak waras. Saya membiarkan kata tersebut karena memakai tanda kutip, justru untuk menunjukkan keawaman saya dan kekurang sensitifan saya pada awalnya terhadap isu gangguan mental ini.

Ketika Nikmat ‘Waras’ itu Dicabut: Pengalaman Melawan Psikosis dan Depresi Pasca Melahirkan (1)

BAGIAN KE-1 (PERTAMA) DARI 3 TULISAN

Menjadi ‘lemot’ dan susah tidur.

Nikmat sehat memang lebih terasa saat kita sakit, saya menyadari penuh itu. Tetapi saya tidak pernah menyangka kalau ‘sakit’ terberat yang saya alami ini ternyata bukan sakit fisik, tetapi dicabutnya nikmat pikiran sehat.

Awalnya, usai melahirkan, saya merasakan penurunan fungsi kognisi yang sangat drastis. Belajar menggunakan pompa ASI, mengatur setelan car seat dan kereta bayi menjadi tugas berat karena saya harus membaca instruksi berkali-kali tetapi tidak kunjung mengerti. Saya pun bingung kenapa saya se’lemot’ ini. Memasak adalah salah satu kegiatan yang membuat saya frustasi kewalahan. Banyak resep yang dulu saya suka, sekarang tidak ingat lagi caranya. Untuk membaca instruksi pada resep pun harus berkali-kali karena susah sekali konsentrasi. Saya yang biasanya suka buka sosmed dan update perkembangan berita di dalam dan luar negeri, jadi kudet kalau diajak ngobrol karena memang tidak pernah lagi ngikutin berita. Membaca literatur tentang menyusui pun butuh waktu yang lama. Grup-grup Whatsapp yang biasanya menemani, cuma di clear chat sampai akhirnya keluar. Bahkan hal simpel seperti memilih dan memesan popok di Amazon bisa membuat otak saya kewalahan, overwhelmed, linglung. Saya juga membutuhkan waktu yang lama untuk bersiap-siap keluar rumah serta menyiapkan perlengkapan bayi untuk bepergian. Segala ‘cita-cita ambisius’ seperti mengajak bayi traveling harus saya pupus dalam-dalam. Gimana mau packing dan traveling kalo cuma keluar rumah aja linglung?

Semua itu menyebabkan saya frustasi dan cemas berlebihan: Kenapa saya jadi lemot begini? Bagaimana saya bisa jadi ibu yang baik kalau mikir aja lama? Perasaan itu berkembang menjadi rasa bersalah dan rendah diri berlebihan. Belakangan saya baru tahu dari psikiater di unit gawat darurat kalau apa yang saya alami namanya pseudo dementia. Sulit konsentrasi, mudah lupa, kesulitan dan kurang minat melakukan hal-hal yang dulu biasa dilakukan, jadi linglung dan lemot itu hanyalah salah satu gejala yang biasanya menyertai depresi.

Gejala lainnya adalah susah tidur atau insomnia. Awalnya, saya beranggapan wajar sekali kalau punya bayi kurang tidur. Pada usia 1.5 bulan, perut Keeva bermasalah dan kerap menangis. Dokter menyuruh saya diet agar ASI saya tidak bergas. Ia juga memberi Keeva obat pereda kolik dan GERD karena ia susah tidur telentang dan terus bangun menangis. Kadang saya menidurkannya di car seat karena dia tidak kunjung tidur dalam posisi telentang dan harus selalu digendong. Memang benar, kurang tidur buat ibu yang baru bersalin itu wajar. Tetapi, tidak bisa tidur sama sekali selama 24 jam bahkan lebih,  adalah di luar kewajaran dan dapat memicu psikosis, yaitu keadaan mental yang terganggu dimana penderita kehilangan kontak dengan realita/kenyataan. Bisa mengalami delusi (percaya suatu hal yang bukan kenyataan), halusinasi (mendengar atau melihat hal yang tidak nyata) atau keduanya. Inilah yang saya alami. Psikosis pasca melahirkan/postpartum psychosis adalah gangguan mental pasca melahirkan yang paling berat dan masih tergolong jarang. Baby blues adalah gangguan ringan, lanjutannya adalah depresi pasca melahirkan/postpartum depression (PPD). Banyak wanita pasca melahirkan mengalami depresi, tapi kebanyakan tidak disertai psikosis. Sebaliknya psikosis pasca melahirkan biasanya selalu disertai depresi. Karena inilah akhirnya saya harus berpisah dengan Keeva ketika usianya hampir 4 bulan. Saya harus dirawat di unit kesehatan mental di rumah sakit.

16633526-Abstract-word-cloud-for-Postpartum-psychosis-with-related-tags-and-terms-Stock-Photo

Yang lebih mengejutkan buat saya adalah semua ini terjadi setelah kehamilan yang menyenangkan dan proses persalinan yang sangat mudah. Pada saat hamil, saya hepi banget, jauh dari depresi. Kehamilan dan janin juga sehat serta lolos segala macam test yang seabgreg-abreg buat perempuan hamil di atas 40 tahun. Saya sangat semangat mengatur menu sehat, menjaga benar apa yang saya makan, berolahraga renang setiap hari, bersepeda ke kantor sampai usia kehamilan 6 bulan, tetap aktif dan bekerja sampai minggu terakhir kehamilan. Semua saya lakukan karena saya bertekad punya anak sehat dan melahirkan secara normal. Alhamdulillah, persalinan saya sangat mudah dan tidak sesakit yang saya bayangkan. Setelah berenang di siang hari, sore sampai malam saya terus berkontraksi dan dini hari saya melahirkan. Dokter Kandungan (Obgyn) saya pun selalu mendukung dan memberi semangat untuk bisa melahirkan normal. Ia membuat saya lebih pede walau tadinya cemas karena pernah keguguran dan kini mengandung di usia 40 tahun. Kehamilan yang bermasalah dan komplikasi saat melahirkan bisa merupakan faktor pemicu depresi pasca melahirkan. Tetapi belajar dari kasus saya, ternyata ibu-ibu yang hamilnya sehat dan lahirannya gampang pun harus tetap waspada dengan depresi pasca melahirkan.

Menolak minum obat anti depresi

Saya mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres ketika setelah usia Keeva lewat 2 bulan, saat ia akhirnya bisa tidur nyenyak semalaman tanpa bangun, saya masih tetap tidak bisa tidur. Malam hari saya malah gelisah dan beberes rumah, merapikan dokumen, sampai memperbaiki thermostat AC.  Kalau diam di tempat tidur pikiran terus berkecamuk sehingga saya harus mengalihkannya dengan melakukan sesuatu. Saya mencoba minum obat tidur dijual bebas yang diperbolehkan untuk ibu menyusui (Diphenhydramine HCl). Efeknya hanya tubuh saya yang lelah, seperti paralyzed, kaku tidak bisa bergerak dari tempat tidur tetapi pikiran tetap berkecamuk, segala macam kekhawatiran seolah berlomba-lomba di otak saya dan tidak bisa distop. Belakangan saya baru tahu dalam istilah psikiatri kalau ini namanya racing thoughts, alias pikiran yang berkejaran. Ternyata ini juga gejala dari psikosis pasca melahirkan.

Melihat kondisi saya yang paralyzed di tempat tidur, suami saya pun baru mengerti saya mungkin mengalami depresi. Saat itu suami baru bercerita bahwa dokter anak saya sudah melihat gejala depresi pasca melahirkan saat kunjungan 2 bulan Keeva, karena saya tampak khawatir berlebihan. Saat saya ke toilet, ia menanyakan pada suami apakah saya terlihat depresi, pernah kelihatan menyakiti bayi, atau diri sendiri? Apakah perlu diresepkan obat penenang? Saat itu suami saya tentu saja menjawab tidak. Kini ia melihat sendiri walau saya tidak pernah menyakiti bayi atau diri sendiri, saya kelihatannya butuh obat resep dokter. Sayangnya saya masih bersikeras tidak mau minum obat. Sebagai orang yang jarang sakit, menjaga tidak sampai sakit dan tidak mau minum obat kalau tidak perlu-perlu banget, saya ngeri berurusan dengan obat penenang. Saya masih bandel dan gengsian dan beranggapan ini akan sembuh sendiri. Saya baru ‘menyerah’ ketika suatu malam saya bukan hanya tidak bisa tidur dan racing thoughts mengganggu lagi, tapi kali ini saya merasa otak seperti ‘disengat listrik’ dan merasa ada yang mem’bajak’ pikiran saya sehingga saya mendadak bukan diri saya. Paginya, suami membawa ke dokter Obgyn saya. Saat itu saya merasa bersalah karena merasa penyakit saya ini “nggak penting”, si dokter pasti punya kerjaan lainnya yang lebih penting daripada melayani seorang yang “cuma depresi”. Saya menganggap diri saya lemah dan cengeng. Di situlah dokter mengatakan bahwa rasa bersalah yang berlebihan juga ciri depresi. Ia berulang kali mengatakan: “Jangan merasa malu, jangan merasa bersalah. Siapapun bisa kena depresi. Sama saja dengan orang yang sakit diabetes atau darah tinggi, mereka harus minum obat.  Depresi kamu terjadi karena ketidak seimbangan senyawa kimia di otak, juga pengaruh hormon-hormon pasca melahirkan, sehingga kamu perlu obat untuk menyeimbangkannya atau terapi hormon.” Setelah dibujuk akhirnya saya mau juga minum obat anti depresi. Saya masih ingin menyusui, karena itu obat anti depresi yang dipilih pun untuk yang masih aman bagi ibu menyusui, yakni Setraline HCl (Zoloft).  Sang dokter tetap menyarankan saya ke psikiater, karena dari gejala yang saya tuturkan, ia berkata saya mungkin tidak hanya terkena depresi pasca melahirkan tetapi juga psikosis pasca melahirkan, dan psikiater lah yang bisa menindak lanjuti obat apa yang paling cocok.

3 hari setelah meminum obat anti depresi, saya merasa kondisi saya bertambah lemah dan semakin parah. Perut sakit luar biasa, otot tremor sehingga sulit untuk beraktivitas, insomnia malah menjadi-jadi. Kalaupun bisa tidur sekilas, isinya mimpi buruk semua. Pagi hari yang harusnya saya semangat mengasuh Keeva, malah lebih tidak bertenaga sama sekali. Saya semakin takut tidak bisa menunaikan tugas sebagai ibu, kasian si bayi sendirian di rumah dengan ibu yang ‘sakit’. Ayah mertua adalah seorang pharmacist (apoteker), menurut beliau, semua obat anti depresi tidak langsung cespleng mujarab, tetapi malah biasanya “getting worse before getting better”. Jadi kondisi saya yang bertambah buruk sebelum merasakan efek membaik adalah lumrah.  Saya diminta sabar selama 2-4 mingguan, sampai obatnya bekerja. Saya malah semakin takut. Apa? Saya harus menunggu selama 4 minggu? Selama 4 minggu mengasuh anak sendirian dengan kondisi seperti ini? Kalau di Jakarta mungkin masih bisa, karena ada yang membantu. Bagaimana kualitas pengasuhannya nanti kalau Keeva diasuh oleh ibu yang di bawah pengaruh obat? 4 minggu, terlalu banyak perkembangan Keeva yang tidak bisa saya ikuti optimal. Karena tidak tahan lagi dengan efek samping obat yang malah membuat saya makin tidak bisa menjalankan fungsi sebagai ibu,  saya melaporkan ke dokter. Saya diperbolehkan untuk menghentikan obat pada hari ke-4, sebelum terlalu jauh yang berakibat lebih parah jika mendadak dihentikan. Kondisi saya memang sejenak membaik dan saya bisa lebih ‘menikmati’ mengasuh Keeva. Dokter Obgyn tetap bersikeras saya harus ke psikiater, untuk menemukan obat yang cocok dan efek sampingnya tidak begitu parah.

Masuk unit gawat darurat psikiatri

Ternyata memilih psikiater dan menjadwalkan kunjungan pada akhir tahun saat liburan Natal dan Tahun Baru  tidak mudah, apalagi saat itu saya sedang dalam proses pergantian dari asuransi kesehatan yang lama ke yang baru. Proses administrasi yang ribet membuat saya dan suami sama-sama lalai dan setelah pergantian ke tahun 2017 kami belum juga membuat janji dengan psikiater. Kondisi saya makin memburuk. Hari-hari dimana saya masih bisa berfikir jernih, makin sedikit jumlahnya dibanding dalam keadaan ‘linglung’.  Merawat Keeva sebatas mengganti popok dan menyusui saja, saya makin tidak merasakan ikatan batin dengannya. Tidak ada emosi dan energi untuk mengajaknya bermain, menyanyikan lagu atau membacakan buku. Suatu hari saya keluar rumah dan meninggalkan Keeva tidur sendirian karena ‘sengatan listrik’ itu datang lagi dan saya merasa linglung berat. Malam-malam saat Keeva dan suami tidur, saya bukannya tidur, malah mencakar-cakar lengan sendiri. Saya menelpon kakak saya di Jakarta memintanya datang ke Dallas, menyelamatkan Keeva dari ibunya yang ‘gila’, saya paranoid bahwa Child Protection Service akan mengambil Keeva karena saya dan suami tidak mampu mengurusnya. Paranoid bertambah parah saat saya merasa semua orang di seluruh dunia yang saya kenal membenci saya, ngomongin saya dan menertawakan saya atas ketidakkompetenan saya merawat Keeva. Puncaknya ketika saya di kantor dan pulang sebelum waktunya karena merasa saya telah dipecat. Atasan saya datang ke apartemen kami untuk menjelaskan bahwa itu tidak benar. Sepulangnya dia dari apartemen, suami makin khawatir karena saya semakin kehilangan kontak dengan realita, tatapan saya kosong,  saya merasa saya tidak berguna, Keeva butuh ibu yang lebih baik dari saya. Saya mulai menyakiti diri sendiri dengan mencubit dan menampar pipi saya sendiri. Suamipun membawa saya ke unit gawat darurat, jelas tidak mungkin dengan kondisi ini saya sendirian di rumah merawat Keeva. Paranoid dan menyakiti diri sendiri atau bayi juga merupakan gejala psikosis. ‘Untungnya’ saya ‘hanya’ menyakiti diri sendiri bukan Keeva.

Setelah mendatangi unit gawat darurat, saya menjalani MRI dan berbagai tes lainnya sampai hampir malam hari. Suami harus pulang karena Keeva harus minum susu dan tidur. Sepeninggal suami, saya ditransfer ke dalam fasilitas kesehatan mental di Medical City Dallas. Sesuatu yang sangat tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Keeva dititipkan kepada ibu mertua yang cuti dari kerjanya untuk mengasuh sang cucu.

(Bersambung ke bagian 2: Di fasilitas kesehatan mental)

Vonis Dokter dan Kesempatan Kedua

Minggu lalu, saya mendapat keponakan baru. Ini ‘sesuatu banget’ buat kami sekeluarga, karena sang ponakan sempat divonis dokter sebagai janin yang tidak berkembang alias blighted ovum. Untungnya adik saya dan isterinya memutuskan mencari second opinion dari dokter lain, yang kemudian menyatakan masih ada kemungkinan meneruskan kehamilan. Demikian hingga pada tanggal 11 April lalu lahirlah bayi perempuan lucu yang Alhamdulillah, sampai detik ini normal dan sehat.

Saya jadi teringat kisah emak waktu mengandung saya. Beberapa dokter sudah menyatakan, “Ini janin lemah, kalau diteruskan tidak akan bagus”. Menurut pengakuan emak, beliau beberapa kali disuntik untuk mengeluarkan saya, sang janin. Untungnya beliau kemudian sampai pada dokter lain yang mengatakan “Dicoba aja bu, Bismillah”. Emak saya pun meneruskan kehamilan.  Dan, jreeeng…. lahirlah saya,  yang sekarang sudah segede ini, dan ternyata nggak jelek-jelek amat! Lumayan bisa masuk ITB , walau hanya mahasiswi mediocre dan penggembira. Efek upaya untuk ‘menggugurkan’ saya ternyata hanya bikin rusak saraf pendengaran. Syukurlah cuma kuping kiri yang tuli total. Walhasil sekarang kalau saya keasikan korek kuping kanan (korek kuping kan nikmat!) sampai merem-melek, suami saya langsung protes “Be careful don’t hurt yourself, I don’t want to learn sign language” 😀

Kalau ingat bahwa saya dulunya juga ‘hampir tidak ada’, kadang bikin saya rada-rada insap untuk lebih menghargai hidup, karena sudah untung diberi kesempatan untuk hidup . Bicara soal kesempatan kedua, beberapa waktu lalu di kantor/lab saya kedatangan tamu yang sungguh memberi saya pencerahan soal ini.

Apop Harris

Namanya Jessica Stevens, ia adalah mantan penderita suatu penyakit langka bernama  Reflex Sympathetic Dystrophy, sebut saja RSD (Bukan Rida Sita Dewi yaa ). RSD merupakan kelainan saraf yang bila sangat parah seperti yang dialami Jessica, rasa sakitnya tergolong tinggi sampai tidak bisa ngapa-ngapainPain scale/ skala rasa sakit yang dirasakan pasien RSD bisa mencapai angka tertinggi dibandingkan dengan sakit karena melahirkan normal, amputasi, patah tulang atau kanker. Ini terjadi karena ujung-ujung saraf penderita tak henti-hentinya mengirim sinyal ke otak, hingga otak merespon dengan mengeluarkan zat kimia yang membuat rasa sakit terbakar, tertusuk di sekujur tubuh. Akibatnya Jessica tak bisa hidup normal karena terus menerus kesakitan. Ngilu mendengarnya.  Ia hidup, tetapi tidak bisa menjalani hidup. Jessica bercerita, setelah segala upaya dilakukan, dokter di seantero Amerika Serikat sudah ‘menyerah’ untuk menangani kondisi ini. Ia malah disarankan ke Meksiko untuk menjalani pengobatan yang tidak bisa dilakukan di AS. Pengobatan ‘alternatif’ ini bukannya tak berisiko mengancam nyawanya. Ia memutuskan menempuh risiko itu, dan kini Jessica terlihat begitu sehat, semangat, walaupun harus duduk di kursi roda.

Kenapa di Amerika Serikat, yang katanya lebih maju dalam dunia kedokteran bisa tidak mampu menangani penyakit ini, malah si Jessica sembuh setelah berobat ke Meksiko? Ini mirip-mirip dengan film Dallas Buyers Club. Buat yang belum nonton, itu loh, film yang bikin Matthew McConaughey meraih Oscar pemeran pria terbaik tahun ini. Film kisah nyata penderita AIDS berjuang mencari pengobatan alternatif sampai harus ke luar Amerika Serikat. Alasannya kira-kira sama dengan Jessica: Obat/tindakan yang memungkinkan untuk menyembuhkan pasien, belum dianggap legal oleh hukum di AS. Menjalani pengobatan ini tidak bisa di AS karena akan melanggar hukum.

Balik ke kisah Jessica, satu-satunya prosedur yang memungkinkan dilakukan saat itu adalah ketamine coma dosis tinggi, yaitu mengkomakan pasien memakai obat ketamine dengan harapan sistem saraf yang rusak bisa kembali normal setelah distirahatkan. Ibarat me-restart komputer yang nge-hang, tapi tentu saja dengan risiko besar. Jessica sempat bangun sehabis di-restart alias dibuat koma, dan bukannya bertambah baik, malah kehilangan penglihatan! Dokter harus membuat dia kembali koma, proses panjang 2 tahun sampai akhirnya ia diizinkan ‘hidup lagi’. Tak heran kini ia begitu semangat dan optimis. Melihatnya sekarang dan membandingkan dengan keadaannya dulu rasanya tidak percaya.  Sekilas ceritanya bisa dilihat di video cuplikan berita di bawah ini:

 

Sebenarnya bisa dimaklumi kalau tindakan medis ini dilarang di Amerika Serikat karena berisiko. Tetapi ada yang menarik soal hukum di AS bila dibandingkan dengan di Indonesia. Di satu sisi kita kadang memuja negara maju seperti AS yang begitu melindungi pasien dari malpraktik, dan spontan membandingkan dengan di Indonesia yang justru banyak pasien tak berdaya menghadapi kasus malpraktik  karena lemahnya hukum.  Di Indonesia pengobatan alternatif juga bebas merajalela dan kurang ada kontrolnya. Kedua sisi ekstrim menurut saya tidak bagus juga.  Sisi gelap dari hukum di AS; terkadang alih-alih melindungi pasien dari malpraktik, justru malah membatasi pasien untuk mencari alternatif kesembuhan yang memungkinkan. Seolah ilmu kedokteran yang notabene adalah ilmuNya yang Maha Luas, dibatasi hanya pada metode yang dilegalkan oleh pemerintah AS saja. Belum lagi ada kepentingan industri asuransi kesehatan, produsen obat dan pengacara. Produsen obat cari makan lewat jual obat, bisa melobi pemerintah lewat FDA buat melarang obat alternatif kompetitor. Pengacara cari makan lewat tuntutan malpraktik terhadap dokter. Dokter takut terhadap pengacara sehingga bisa ragu mengambil tindakan. Pasien tetap membayar biaya medis mahal walaupun sudah punya asuransi kesehatan. Pusing, lieur? Sama! Intinya, penyelenggara negara jadi bisa ditarik-tarik membuat kebijakan berdasarkan kepentingan periuk berlian mereka,  bukan kepentingan dan kemudahan pasien.

Anyway, berkaca pada kelahiran keponakan yang mirip dengan kelahiran saya yang hampir tidak jadi, serta  pertemuan saya dengan Jessica, saya kembali diingatkan untuk bersyukur atas nikmat hidup dan nikmat sehat. Tidak usah berlebihan komplain dan iri pada orang lain, karena di saat kita kepingin seperti orang lain, banyak orang berjuang untuk kepingin sekali sekedar memiliki apa yang kita punya: nikmat sehat.

Di luar dokter salah diagnosa dan memvonis tidak ada jalan kesembuhan, masih ada dokter yang lebih pintar dan mengupayakan jalan lain .  Di luar dokter yang paling pintarpun masih ada yang Dia Yang Maha Pintar, yang kuasa memberikan kesembuhan. Apa yang menurut pengetahuan manusia saat ini mungkin tidak ada obatnya,  bisa jadi karena ilmu kita masih terlalu cetek untuk mengungkapkan ilmuNya,  Dia yang ilmu dan kekuasaanNya lebih luas dari segala dokter dan ilmuwan manapun.

Golput Intelek: Saya golput dan saya bangga!

Pemilu lagi. Pro-kontra golput hadir lagi. Sebenarnya ada bermacam alasan untuk golput. Golput terpaksa, misalnya tidak dapat surat suara, berhalangan di hari pencoblosan, atau sudah benar-benar melakukan riset mengenai caleg di dapilnya, tapi terbukti semuanya koruptor  🙂  Ada pula orang-orang yang terlalu jauh untuk mengerti mengapa ia harus mencoblos; mereka yang untuk makan sehari-hari pun masih susah, mereka yang seharusnya dipelihara oleh pemerintah namun berapa kalipun pemilu tidak pernah perubahan menyentuh mereka.

Golput di atas tentu berbeda dengan golput intelek yang secara sadar dan sengaja tidak memilih bahkan bangga dan mengkampanyekan kegolputan-nya. Di antara para “aktivis golput” yang saya amati, biasanya punya jargon yang terus dipegang dari jaman perlawanan orde baru bahwa  “Golput adalah bentuk perlawanan terhadap sistem”, atau yang lebih ekstrim lagi dalam tulisan ini: “Kaum golput adalah orang-orang optimis yang merasa tidak perlu memberikan mandat atas kehidupannya kepada figur-figur bandit”

Padahal kalau kita bayar pajak, maka DPR digaji dari pajak kita, bahkan bersama Presiden ikut menetapkan anggaran dan peraturan pemerintah.  Aneh juga kalau kita ngasih uang tapi nggak mau memastikan bahwa bukan ‘bandit’ yang mengelola uang kita.  Aktivis golput biasanya merasa tidak ada yang bisa mewakili dirinya yang kelewat intelek dan cerdas. Tetapi mereka merelakan orang-orang yang bahkan jauh dari cerdas untuk mengelola uang mereka.

Aktivis golput  bisa menularkan kegolput-annya pada orang-orang yang kebetulan memang malas riset, malas cari tahu, jadi ikut-ikutan golput sebagai pembenaran kemalasan mereka. Nah ini saya sebut aja  golput latah. Mereka ini lebih lucu lagi.  Sering kirim-kiriman gambar caleg ajaib, sambil bilang “Ngapain milih, caleg ancur-ancur bloon begini”. Mereka ngetawain caleg-caleg itu tapi nggak sadar kalau orang-orang yang mereka ketawain itu bisa jadi bakal mengelola uang mereka, membikin kebijakan buat mereka. Jadi mikir juga, sebenarnya yang ‘bloon’ itu siapa ya? Mengutip tulisan Eep Syaifullah Fatah:”Banyak yg suka berteriak sambil mencibir: ‘Indonesia adalah kapal besar yg sedang tenggelam!’ – Dia gak sadar bahwa dia ada di dalam kapal itu”

Memang sih, ada perbedaan besar antara aktivis golput dan mereka yang cuma latah golput. Aktivis golput biasanya dalam kehidupan sehari-harinya mungkin memang sudah banyak berkontribusi dalam perubahan di Indonesia, misalnya aktivis LSM, wartawan, relawan dan sebagainya. Jelas saja mereka sewot pada  orang-orang yang tidak lebih pintar dari dirinya dan mengajak mencoblos, karena mereka merasa “Nggak usah milih pun aku udah banyak bikin kontribusi kok. Emangnya perubahan hanya lewat Pemilu!”.

Benar, benar sekali. Berkontribusi pada bangsa tidak hanya lewat mencoblos, tidak hanya dilakukan 5 tahun sekali, tidak hanya euphoria mendadak ikut peduli. Berkontribusi pada bangsa harusnya terintegrasi dalam kegiatan sehari-hari. Tapi kalau menurut saya yang naif ini sih, kalau bisa dua-duanya: kontribusi di dalam dan di luar Pemilu, kenapa tidak?.

Tidak semua orang harus terjun ke politik, karena banyak jalan lain menuju perubahan. Tetapi bila diberi kesempatan ‘gampang’ untuk berkontribusi dengan sekedar riset sebentar dan mencoblos, kenapa harus dilewatkan? Padahal dengan kecerdasannya, aktivis golput bisa menjadi pemilih cerdas yang melakukan riset mendalam mengenai orang yang diamanahkan. Mungkinkah mereka pada akhirnya “menjadi golput demi golput itu sendiri”, karena gengsi bila harus disamakan dengan pemilih kebanyakan yang memang musiman dan sering latah menjadi tim hura-hura belaka?

Apakah ada perubahan pemilu sekarang dari pemilu tahun-tahun silam? Dahulu, saya benar-benar tidak tahu calon saya, karena informasi terbatas. Di era socmed ini saya mengikuti proses pemilu dengan fun. Bukan semata karena ini pemilu pertama saya yang nggak perlu datang ke TPS dan tinggal main surat-suratan sama KBRI. Tetapi lebih  karena begitu mudahnya mendapatkan informasi tentang caleg, bisa melakukan analisa sendiri mengenai siapa yang akan kita pilih, tanya kepada teman yang kebetulan kenal sang caleg. Sesama teman pemilih berdiskusi dan bertukar informasi tanpa saling memaksakan pilihan apalagi sampai musuhan. Toh, tiap orang punya kriteria sendiri tentang caleg yang bisa mewakili dirinya. Hari gini, informasi sudah seabreg dan jauh sekali dari era kegelapan dan sensor di jaman Orba. Jadi menurut saya, ya, ada perubahan. Kalau jaman Orba, golput mungkin wajar.

Kalau nanti makin banyak orang-orang baik masuk di pemerintahan, apakah para aktivis golput itu akan tetap konsisten mencari pembenaran akan kegolput-annya?  Entahlah. Yang jelas, di negeri kita golput adalah hak, bukan kewajiban. Jadi golput juga hak dan kita tidak bisa memaksa. Ada juga yang bilang pemilu caleg mah males, mending gubernur atau presiden aja. Padahal, legislatif sama pentingnya dengan eksekutif. Ingat kasus bagaimana eksekutif hebat seperti walikota Surabaya, Ibu Tri RIsmaharini, ditekan oleh para anggota legislatif sehingga hampir mundur dari jabatannya? Patut diingat juga, harapan-harapan baru seperti Ibu Risma itu bukan produk dari orang-orang yang memilih untuk tidak memilih.