Berbeda-beda tetapi Tetap Texas

Tepat 10 tahun sudah saya tinggal di Amerika Serikat, tepatnya di Texas bagian utara. Selama itu saya tinggal di 3 kota yang berbeda: Lewisville, Dallas, Richardson. Walau semua sama-sama daerah Dallas Metroplex (Dallas dan kota-kota di sekitarnya, kurang lebih seperti Jakarta dengan Bogor Bekasi Depok), tetapi dari pengalaman berinteraksi dengan penduduknya, tinggal di 3 kota tersebut sama sekali bukan hal yang seragam atau tipikal, semuanya completely different.

Memang tipikal Texas itu kayak gimana? Image koboi, pistol, itu pasti ada. Financial advisor suami saya aja kirim kartu Natal/Tahun Baru dengan foto semua anggota keluarga dia berpose megang senjata api. They LOVE guns!

edbc2706f1561f62746c893fae9735cc

Image via Berry

Waktu awal pindah, saya menduga karena ini basis kaum konservatif secara politis, maka sebagai muslim minoritas ada perasaan takut juga pindah sini.  Kota pertama tempat saya tinggal adalah Lewisville. Di sini juga saya sempat dipersekusi oleh bapak-bapak yang “panas” karena melihat saya berjilbab, sampai harus berurusan dengan polisi.

Walau secara demografi Lewisville cukup banyak imigran dari Amerika Latin, dalam keseharian saya cukup sering berinteraksi dengan tipikal orang bule yang seperti belum pernah melihat dunia luar.

Contohnya, saya pernah ditanya “Do you have TV in your country?”, atau “Are women in your country allowed to vote?” Waktu itu saya jelasin “Not only women are allowed to vote, but women can be a president, too“.  Kadang pengen saya tambahin “Woi, Indonesia tuh pernah punya presiden perempuan loh.. Amerika kagak pernah kan?” saking keselnya. Tapi saya sadar pertanyaan-pertanyaan mereka bisa jadi nggak bermaksud meremehkan, melainkan beneran pengen tahu. Saya banyak berinteraksi dengan tipikal orang tua jadul yang tidak punya paspor dan merasa Amerika Serikat adalah negara paling hebat sehingga tidak perlu pergi ke mana-mana. Mereka mampu secara finansial untuk traveling, tetapi sangat enggan meninggalkan zona nyamannya. Di cafetaria pernah saya ngobrol dengan teman usia senior yang mengaku tidak pernah keluar negara bagian Texas dan tidak pernah makan ikan kecuali fillet-o-fish. Buatnya makan ikan yang masih ada tulangnya, makan sushi atau tinggal di luat Texas itu bener-bener out of her comfort zone.

Texas bagian utara memang masih termasuk area Bible Belt, basis kaum Kristen Protestan taat dan secara politik termasuk konservatif. Secara sejarah dulunya Lewisville ini basisnya Kristen aliran Baptist, yang tidak memperbolehkan alkohol. Dahulu jika penduduk Lewisville mau minum bir, mereka harus beli di kota tetangganya, Flower Mound, yang merupakan basis Kristen Presbytarian.

Salah satu yang juga “berkesan” adalah perkenalan saya dengan bapak-bapak tua umur 80an. Sebut saja namanya Pak Tua. Dia ini hobiiiiii banget menginterogasi saya tentang keIslaman saya. Kalo cuma nanya-nanya karena pingin tahu, saya maklum banget. Tapi ini lebih berkesan mengejek daripada bertanya. Mungkin kebanyakan dapat berita buruk tentang muslim di media ultra konservatif. Dan semuanya dikonfirmasi ke saya dengan nada “ngenyek”, seperti:

You heard the news about the muslim father who killed his daughter? He found his daughter dating someone?”

In Paris, those muslims people were praying on the street and closed the street for everybody else“. Yang paling ngeselin waktu dia ngomong I think Qur’an really endorses violence”.

Aduh Pak.. Nggak ada cara lain memulai percakapan apa ya, makanan favorit kek, atau liburan ke mana nanti, atau gosip artis juga masih mending kali ya. Ini bukan masalah konten doang sih tapi timing dan manners gitu lho. Kalo di forum khusus diskusi dan debat masih mendinglah. Ini di tempat kerja. Kadang saya mikir ni orang mungkin mirip ama netizen yang hari-harinya cuma posting kebencian terhadap golongan yang dia sebelin, bedanya ini bukan netizen tapi di dunia nyata.

Waktu itu saya udah capeeeek banget melayani percakapan dengan dia, akhirnya saya bilang, Quran yang saya percayai tidak menginspirasi melakukan kekerasan. “But Sir, if you want to believe what those terrorists believe, go ahead. I am not gonna try to change your mind“. Intinya saya anggap dia sama dengan teroris: percaya bahwa kitab suci menganjurkan kekerasan. Sejak itu kayaknya dia agak “lunak” dalam menginterogasi saya dan mulai banyak ngomongin hal lain selain agama dan politik.

Belakangan saya baru tahu, bukan cuma saya yang sering “diganggu” sama Pak Tua, tapi juga teman-teman lain yang beragama Katolik. Teman-teman yang Katolik kayak berusaha melindungi saya juga saat diinterogasi Pak Tua. Ternyata si Pak Tua ini penganut aliran di Kristen Baptist yang katanya sih benci banget ama Katolik. Ya, orang berhak percaya apapun, tetapi yang ngeselinnya dia memaksakan pendapat dia ke orang lain. Saya dengar sendiri ia menjelaskan ke teman Kristen yang lainnya, seperti menghasut  untuk ikutan benci Katolik juga. Kok jadi inget juga sama muslim yang nganggep muslim lain belum afdol kalau nggak benci banget sama Syiah dan Ahmadiyah. Atau yang menganggap yang beda pengajian itu kurang kaffah Islamnya. Pak Tua ini ngomong agama dan politik di manapun, tidak liat sikon. Yang kayak gitu memang ada di agama manapun, bahkan juga yang tidak beragama. Atheist puber dan norak yang selalu nyela semua agama juga ada. Intinya ketika mengejek yang berbeda dan merasa paling benar sendiri, ya sama aja semua. Kurang pede dengan kepercayaannya kalo nggak pake menghina yang lain.

Ketika si Pak Tua ini lama nggak masuk kerja, saya merasa damai sekaligus heran juga kemana ya kabarnya. Terus dapatlah info dari teman yang lain: Pak Tua jatuh di trotoar, dan nggak bisa bangun sendiri, belum sempet bangun terus digigit anjing. Ha? jatoh dan digigit anjing? *ketawa jahat*. Saya antara kasian tapi kok ya pengen nyukurin. Otak jail saya sempet mikir: Tuh kan, binatang aja nggak suka ama orang yang paling merasa bener sendiri dan usil sama keyakinan orang lain.

Pas saya pindah dari Lewisville dan pamitan sama orang rumah sakit, si Pak Tua ini meluk saya lama, sambil nepuk2 punggung saya bilang “Take care, kid“. Terus matanya rada basah gitu. Nggak tau dapat wangsit darimana dia, tapi saya kok jadi ikut sedih juga. Dia memang hidup sendiri dan tidak bersama anak cucunya. Jadi sedih juga kalo di hari tuanya dihabiskan dengan baca informasi provokatif dan membenci yang berbeda dengan dia. Apalagi kalo ingat generasi baby boomers emang banyak yang korban hoaks.

Seusai dari Lewisville saya diterima kerja di pusat kota Dallas. Saya sempat naik kereta bolak-balik Lewisville-Dallas. Namun ketika suami juga pindah kerja di Dallas, kita memutuskan untuk pindah ke apartemen yang jaraknya sekilo dari kantor saya di dekat downtown Dallas. Daerah ini mungkin seperti Business District di Sudirman. Di sekitarnya banyak hunian apartemen. Tempat saya tinggal dekat ke Uptown Dallas yang sudah jelas demografinya beda banget dengan Lewisville yang cenderung “oldies“.  Lebih banyak pendatang dari negara bagian lain dan anak muda. Di apartemen saya  kebanyakan anak muda single atau keluarga tanpa anak. Banyak tempat-tempat makan trendi, dan kalau ngeliat orang-orang yang dateng, ini kok badannya langsing fit semua dan penampilannya ganteng cantik fashionista kayak di sinetron.

Nggak jauh dari tempat tinggal, ada swalayan tempat saya belanja sayur dan beras, terletak di daerah yang dikenal sebagai “Gayborhood” alias neighborhoodnya para gay, komunitas yang sangat LGBT- friendly di kota Dallas. Pertama lewat situ pas belanja, bingung juga, kenapa kok banyak orang joget-joget di balkon tapi cowok semua. Rupanya itu gay bar. Tukang jahit jas pria juga masang foto gede penganten pria dan pria berpelukan di depan tokonya. Ada toko baju yang pasang promosinya “Belanja baju $20 dapat gratis tes HIV”. Lucu amat, pikir saya, toko biasa mah beli baju dapat baju lagi, eh ini mah dapat gratis tes HIV.

Teman kantor saya yang gay bahkan cerita kalau ia beli asuransi tambahan yang mengcover HIV karena dia sadar gaya hidupnya berisiko sementara asuransi kantor tidak mengcovernya. Kesan yang saya tangkap sih mereka tidak segan mengakui bahwa pria homoseksual masih menempati kasus terbesar HIV, setidaknya menurut data CDC di Amerika Serikat. Attitude dan awareness yang saya pikir jauh lebih baik daripada hanya play victim  “Oh, jangan menjudge kami dong, semua bisa kena HIV kok, bukan cuma gay doang”.

Pernah abis belanja, saya dan suami nggak ngerti kalo hari itu adalah Pride Parade, alias pawai tahunan komunitas LGBT se-Dallas Metroplex. Tentu saja acara tahunan itu dipusatkan tepat di Gayborhood ini. Walhasil kita terjebak di Parade dan nggak bisa pulang, ya udah malah iseng aja foto-fotoin pawai. Sambil merhatiin, di sini ternyata banyak juga komunitas gereja yang ikutan pawai mendukung LGBT.

Di tempat tinggal baru ini kemudian teman-teman kantor saya berubah drastis dari berbagai latar belakang etnis, ideologi dan orientasi seksual. Alhamdulillah, nggak ada lagi yang rajin interogasi saya soal kenapa pake jilbab. Atasan saya menyediakan tempat sholat di ruang meeting yang sangat nyaman.  Bahkan teman kerja yang cukup dekat di lab adalah cowok atheis dan ibu-ibu senior orang Yahudi yang sering nganterin makanan pas saya sakit abis lahiran. 

Si cowok atheis ternyata teman ngobrol yang menyenangkan. Kita suka pulang bareng naik kereta  sambil ngobrolin segala macam topik, bahkan topik agama dan politik bisa dibahas dengan adem. Dia mah scientist abis dan sangat antusias sama jamur. Pernah sepanjang perjalanan kita ngebahas buku favoritnya tentang jamur. Dia juga partner yang baik manakala konten edukasi kami diprotes oleh kaum religius yang terlalu konservatif, sehingga cenderung sinis dengan sains karena beranggapan hal itu menjauhkan mereka dari Tuhan.

Anyway, tinggal di kota yang lebih heterogen membuat saya yakin bahwa di balik perbedaan prinsipil, banyak banget nilai-nilai alias common ground yang bisa kita sepakati bersama. Seandainya saja kita nyari persamaan dan tidak memperuncing perbedaan, dunia bakal jadi tempat yang lebih asik.

Setelah punya anak, saya pindah ke kota lain lagi yang namanya Richardson. Saat pindah kita nggak begitu kepikiran tentang lingkungan seperti apa yang bagus untuk membesarkan anak, cuma mikir lebih terjangkau dan nggak terlalu jauh dari tempat kerja. Eh, Alhamdulillah ternyata di sini kita cukup betah. Yang pertama kali saya ngeh saat pindah ke Richardson adalah: Buanyaaak banget orang pake jilbab/hijab! Dari mbak-mbak di Walmart, karyawan perpustakaan, sampe gelandangannya juga pake hijab (Not sure what I feel about this). Waktu survei daycare buat anak, 4 dari 5 daycare yang saya kunjungi, guru atau direkturnya berhijab. Kocak juga kalo inget tempat tinggal sebelumnya di Lewisville saya dipersekusi karena pake hijab sama kaum “konservatif”,  setelah itu tinggal dekat dengan pusat komunitas LGBT di Dallas yang liberal abis, eh sekarang di Richardson malah kayak komplek perumahan muslim.

Tempat tinggal kita cuma 2 menit dari mesjid IANT: Islamic Association of North Texas, dan di sekitarnya ada 2 mesjid lainnya yang cuma berjarak 10 menitan naik mobil. Kalau bubaran sholat Jumat rada macet udah kayak lebaran. Toko swalayan dan makanan halal bertebaran di mana-mana. Pizza halal saja ada 2 toko di dekat rumah,  puas deh makan pepperoni dan sausage pizza.

Richardson ini kota kecil banget secara ukuran, kurang dari setengah luas Jakarta Timur. Tapi punya lebih dari 30 taman kota dan saya suka bawa anak saya ke taman bermain. Sering banget ketemu sesama hijabers yang punya anak, sesudah itu kenalan, dan jadi play date. Ada yang dari Malaysia, Maroko, Jordan, Saudi Arabia. Ada hijaber Amerika kulit putih yang ujug-ujug nawarin masuk rumahnya untuk mampir minum teh karena pas lewat di depan balkon beliau, anak saya lirik-lirikan ama cucunya yang sama-sama balita.

Nah, kalau bicara demografi Texas keseluruhan yang valid berdasarkan statistik, ternyata 40% dari populasi Texas adalah Hispanic dan Latino. Ya, mereka yang berbahasa Spanyol atau berasal dari negara-negara Amerika Latin. Bahkan di Dallas sendiri lebih dari 40%, berdasarkan 2010 Census. Bandingkan dengan tahun 1930 di mana 80% adalah ras kulit putih non-Hispanic. Waktu awal datang ke Amerika Serikat dulu, terus terang saya rada bitter dengan perlakuan terhadap sebagian pendatang ilegal dari Amerika Latin.  Bukan karena sentimen etnis atau apa, tapi semata merasa nggak adil karena saya dari Indonesia harus berkutat dengan aplikasi yang ribet, lama, plus biaya administrasi puluhan juta rupiah hanya supaya bisa tinggal secara legal ikut suami, sementara mereka yang ilegal di sini kok kayaknya asik-asik aja, malah dapat fasilitas. Cerita lengkapnya dulu pernah saya tulis di sini.

Ada kejadian kocak saat kerja bareng temen saya orang  Meksiko yang “murtad” karena nggak bisa bahasa Spanyol. Orangnya cantik bermata hijau, tapi dia sering dikira orang Arab dan diajak ngomong bahasa Arab. Kebalikan sama saya, yang pake hijab harusnya mah dikira bisa bahasa Arab juga, tapi malah suka ditanya “Do you speak Spanish”?.

y0x9ffjb5ze11

 

Bunuh Diri, Rahman dan Rahim

Sedih sekali membaca blog pribadi dari mahasiswa ITB yang mengakhiri hidupnya dengan gantung diri. Dari SD sudah Juara Olimpiade Sains Nasional, dapet beasiswa di SMP dan SMA, melanjutkan S1 dan S2 di Teknik Elektro ITB. Kemampuan akademik cemerlang, testimoni di komentar juga bilang beliau orang alim yang rajin sholat ke masjid. Saya nggak kenal beliau, cuma satu almamater saja. Tapi sebagai penyintas depresi, terbayang beratnya perjuangan beliau yang saya tangkap melalui tulisan-tulisannya.

Yang bikin prihatin adalah, di kolom komentar blognya masih ada aja yang tega ngatain goblok, mati sia-sia, kalo beriman nggak akan depresi dan bunuh diri, dan sebagainya.

Saya ingat sih kalo dalam ajaran agama, bunuh diri itu dosa besar. Tapi terus saya juga ingat, orang yang sakit fisik itu beda sama yang sakit akalnya. Orang sakit fisik sebisa mungkin harus tetap sholat dengan keringanan yang diberikan seperti sholat sambil duduk, sambil berbaring, dengan isyarat dsb. Tapi orang yang sakit akalnya (gangguan jiwa) justru nggak diwajibkan sholat. Karena syarat sholat itu kan harus berakal.

Abis itu saya jadi mikir, kalau bunuh diri karena otaknya lagi sakit, belum tentu berdosa juga, kali ya. Karena perbuatannya terjadi saat akal terganggu, di mana sholat aja kan nggak wajib. Wallahu a’lam. Nggak berani menghakimi, deh. Buat saya yang lebih ngeselin malah orang sehat akal tapi ngata-ngatain orang lain yang sedang tertimpa musibah.

September tahun lalu, pas saya sholat Jumat di salah satu masjid di Texas (di sini biasa perempuan ikut sholat Jumat), khatibnya bicara tentang depresi. Kebetulan di Amerika, bulan September adalah National Suicide Prevention Month. Dan ada kejadian salah satu jamaah masjid bunuh diri juga. Saya masih inget sang khatib bilang: Kalau depresi berobatlah ke ahlinya, misalnya psikiater. Bukan hanya berdoa. Kalau otak lagi sakit, berdoa pun susah khusyuk. Kekuatan iman tentu saja bisa membantu mengatasi tekanan hidup, tetapi bukan berarti yang depresi itu kurang beriman. Ini bisa terjadi kepada siapa saja, bahkan kepada orang yang relatif tidak punya tekanan hidup sekalipun, misalnya orang yang secara bawaan sudah memiliki ketidakseimbangan neurotransmitter di otaknya.

Di situ saya salut dengan sang khatib yang mengatakan “tragedi ini tanggung jawab kita semua”. Artinya, bisa jadi ini juga kegagalan kita sebagai komunitas yang kurang peka terhadap korban, kurang suportif, kurang pengawasan. Alih-alih menyebut korban sebagai contoh manusia kurang beriman, sang khatib justru mengambil tanggung jawab menyadarkan kita semua untuk lebih peka dan berempati. Pengennya sih, masjid-masjid di Indonesia bisa juga menghadirkan topik-topik seperti ini di mimbar Jumat-nya.

Mengutip Pak Bagus Utomo, aktivis kesehatan jiwa dari Komunitas Peduli Schizoprenia Indonesia, “Pemuka agama seharusnya menjadi garda terdepan dalam merangkul mereka yang terkena gangguan jiwa dengan penuh kasih sayang”.  Saya setuju banget. Sesuai dengan ajaran agama yang mendahulukan “rahman dan rahim”, maka pendekatan kasih sayang-lah yang harusnya kita dahulukan, bukan duluan menghakimi korban sebagai contoh manusia “kurang bersyukur”.

Semoga amal ibadah almarhum diterima dan diampuni dosa-dosanya.

8c94b1e8-ad33-4686-b6d6-dfe7c73d7f93