Ini perasaan saya saja, atau apakah ada juga yang merasakan hal serupa? Beberapa bulan belakangan ini, timeline atau linimasa media sosial dipenuhi dengan opini yang menunjukkan betapa sesatnya Syiah. Buka Facebook, ada yang sharing berita “Awas Ulama Syiah”. Buka Whatsapp, tiba-tiba ada yang mengirimi “Daftar Caleg Syiah, waspadalah waspadalah”. Teman-teman yang dulu dikenal adem ayem kini seolah serentak mengirimkan video, gambar, tulisan menunjukkan betapa si anu adalah syiah nan sesat dan harus dilaknat!
Entah dari mana awalnya, tapi kalau saya tidak salah ingat, konflik di Mesir jadi salah satu pemicu. Memang, perdebatan antara Syiah dan Sunni di Indonesia sudah ada dari dulu. Perbedaan itu biasa, tapi rasanya tidak pernah seperti sekarang ini. Kata-kata “Syiah Laknatullah”, begitu populer, ringan sekali diucapkan atau ditulis dalam komentar-komentar perdebatan di media sosial. Orang yang dituduh Syiah tapi tidak mengakui, harus dicurigai sebagai taqiyah, yakni “pura-pura bukan Syiah”. Dengan demikian, tetap akan ada alasan untuk terus membenci mereka. Menakutkan. Bukan Syiah-nya yang menakutkan, tapi kebencian yang menjadi mainstream, itu jauh lebih menakutkan. Ringan dan gampang sekali melaknat orang, memusuhi, membenci, dan mengajak orang lain untuk sama-sama membenci.
Beberapa tahun lalu, seorang teman pernah meneruskan artikel bergambar yang menurut saya terkesan lebay: membandingkan kehebatan dan kesederhanaan Ahmadinejad dengan khalifah di jaman Rasul, atau dengan pemimpin partainya. Kini orang yang sama meneruskan berita kebejatan rezim Syiah oleh Ahmadinejad, mencela Ahmadinejad habis-habisan. Begitu cepat berubah, tapi ada satu yang menurut saya tetap sama: tetap lebay. Lebay di sini maksudnya berlebihan dalam memuja, atau berlebihan dalam mencela, hingga mengabaikan fakta dan proporsionalitas.
Herannya, orang-orang yang saya kenal cerdas waktu di sekolah dulu, kok bisa-bisanya meneruskan gambar-gambar yang sudah jelas hoax tanpa cek dan ricek alias tabayyun dahulu. Sepertinya kalau sudah menyangkut fanatisme golongan, kecerdasan bisa hilang sesaat. Mengutip situs abal-abal yang jarang menyajikan data akurat, sudah biasa. Mencomot gambar bocah tidur di depan makam, dengan narasi “bocah Syria setelah orangtuanya meninggal”. Padahal ternyata si bocah adalah model karya seni eksperimental fotografer. Mengutip gambar akhwat yang katanya “meninggal tersenyum karena syahid di Mesir”. Padahal itu gambar akhwat Malaysia sedang praktek merawat jenazah, makanya senyum. Saat diingatkan, yang mengingatkan malah dituduh tidak peduli umat Islam. Menurutnya sah-sah saja meneruskan gambar hoax kalau itu untuk menggugah keimanan. Astaghfirullah. Sebegitunya kah?
Beberapa kali saya dituduh antek Syiah, atau antek liberal, karena dalam pandangan mereka, saya mungkin terlihat membela. Padahal saya muslim biasa saja dan tidak berafiliasi dengan golongan manapun. Hanya semata berprinsip: Jangan menilai orang dari labelnya. Kalaupun benar labelnya, belum tentu isi sesuai kemasan label. Tak penting siapa yang mengucapkan, kalau itu mengandung hikmah, mengapa malu belajar? Dari siapapun, ambillah hikmah itu. Janganlah kebencian terhadap suatu kaum membuatmu berlaku tidak adil, itu yang diajarkan di quran, sepengetahuan saya yang awam ini.
Saat ini gelombang “Let’s hate Syiah” yang lagi trendi adalah soal MUI yang menyatakan bahwa Quraish Shihab adalah ulama Syiah yang sesat. Saya teringat, sekitar tahun 2008, umat Islam dipojokkan oleh film Fitna karya politisi Belanda Geert Wilders.Tak urung kemarahan, demo, bakar bendera rame-rame dan bawa spanduk “Kill Wilders”, mengutuk si pelaku, jadi tren di Indonesia. Apakah yang Quraish Shihab lakukan? Beliau menulis. Ya, menulis tanggapan terhadap poin-poin yang dicela Geert Wilders dalam film tersebut. Tulisan tersebut beliau sebarkan gratis melalui media elektronik dalam bentuk pdf, beberapa dicetak dan dibagikan gratis di kerumunan tabligh akbar atau demo orang-orang yang marah menyuarakan ingin membunuh Geert Wilders. Beliau tidak mengompori orang atau mengerahkan massa turun ke jalan. Cara “marah” beliau adalah dengan berbagi ilmu, menyebarkannya pada umat Islam agar tidak usah panik. Semua celaan gampang sekali dipatahkan kalau kita rajin mengkaji kitab kita sendiri. Tidak usah marah pada orang yang mencela. Buat apa resah, kalau kita yakin atas dasar iman dan ilmu bahwa Islam agama damai dan terus membuktikan kedamaian itu. Bukannya malah marah yang kontraproduktif dan membuktikan umat Islam pemarah dan mudah terprovokasi.
Quraish Shihab, dia Syiah atau bukan, itu urusan beliau sama Allah. Apa kita tidak akan belajar untuk lebih berilmu seperti beliau, hanya karena beliau divonis Syiah? Ada beberapa pandangan beliau yang saya kurang sepakat, tetapi bagi saya bukan halangan untuk belajar ilmunya yang seabreg. Salah satunya adalah buku Membumikan Al Quran, bagaimana mempraktekkan ajaran kitab dalam hal-hal sehari-hari yang simpel, tidak usah muluk-muluk.
Kembali lagi kepada tren mengutuk Syiah. Saya bukan penggemar teori konspirasi, tapi gelombang yang mengajarkan kita untuk membenci belakangan ini membuat saya curiga juga semua ini ada biang keroknya, penyandang dananya. Orang-orang yang biasanya doyan teori konspirasi Yahudi malah juga getol menyebarkan kebencian terhadap Syiah. Mungkinkah mereka ini justru secara gak sadar jadi obyek yang dimanfaatkan sama sang konspirator? (Abis gampang banget dikomporin. Dikasi gambar hoax dikit langsung sebar). Konspirator yang tidak ingin kalau Indonesia damai, yang diuntungkan oleh perang dan konflik. Wallahu Alam. Sekali lagi, pikir-pikir dahulu lah sebelum meneruskan berita, jangan karena dari “gank” atau golongan sendiri dijamin pasti benar dan bebas hoax. Kita dianugerahi akal oleh Allah untuk menganalisa, jangan sampai kita kufur nikmat atas akal yang Dia berikan, cuma karena ikutan trendi dan akibat peer pressure orang-orang di sekitar.
——————————————————-
Tulisan senada: Memutus Siklus Kebencian