Ketika Nikmat ‘Waras’ itu Dicabut: Pengalaman Melawan Psikosis dan Depresi Pasca Melahirkan (3)

BAGIAN KE-3 (TERAKHIR ) DARI 3 TULISAN

Berjuang melawan efek samping obat.

Berikut ini saya terjemahkan peringatan yang tercantum dalam leaflet obat anti depresi yang saya konsumsi, Fluoxetine (Prozac):

“Tablet Fluoxetine dan obat anti depresi lainnya dapat menyebabkan efek samping serius, termasuk dapat meningkatkan keinginan dan tindakan bunuh diri dalam beberapa bulan pertama atau ketika dosis dinaikkan”.

Terdengar aneh? Buat saya yang awam, iya. Kenapa obat anti depresi malah bisa meningkatkan pikiran dan tindakan bunuh diri? Rupanya awal pemberian obat anti depresi memang dapat menimbulkan apa yang disebut ‘jitteriness syndrome: cemas, gelisah, susah duduk diam, sehingga bisa memicu pikiran dan tindakan nekat. Ini yang disebut ayah mertua saya dalam bagian pertama tulisan ini sebagai “getting worse before getting better”. Gejala akan bertambah parah sebelum obatnya mulai menunjukkan hasil. Di sinilah kesabaran keluarga yang mendampingi saya diuji.

Sepulang dari rumah sakit, saya dan Keeva tinggal di rumah mertua, suami tetap tinggal di apartemen. Saya bahagia saat akhirnya bisa berkumpul kembali dengan Keeva, tetapi ikatan emosi padanya belum sepenuhnya pulih. Malam hari saya merasa lebih baik dia tidur dengan ibu mertua supaya saya bisa beristirahat. Alhamdulillah, buat ibu mertua, cuti menjaga Keeva merupakan refreshing dari kerjanya dan ia sangat menikmatinya. Energinya sangat positif, walau ia bukan muslim ia kerap mengingatkan saya untuk tetap sholat.  Saat itu kemajuan yang saya rasakan adalah bisa tidur nyenyak. Tetapi kecemasan saya bertambah, terkadang mondar-mandir tidak bisa diam. Mandi dan berpakaian seperti tugas berat, karena saya gelisah melihat pakaian kotor. Saya membuat ibu mertua khawatir dengan jungkir balik di kasur dan meracau bahwa saya tidak pantas ditolong. “Kalau mau tolong Keeva, tolonglah Keeva. Biarkan saja saya”. Pada waktu itu saya juga tidak mengerti mengapa saya bersikap seperti itu. Ayah mertua saya yang pharmacist nampaknya sudah paham bahwa ini efek samping obat, ia bertanya kapan saya menemui kembali psikiater? “Kemungkinan nanti dosis kamu ditambah atau obatnya diganti.” katanya.

Satu lagi, saya terkadang seperti tidak merasakan sedih atau senang. Datar saja tanpa emosi. Ketika kakak saya, Ades, membawa kabar gembira bahwa visa kunjungannya disetujui, ibu mertua saya dan suami yang peluk-pelukan bahagia. Saya malah datar saja. Saat Ades minta saya menulis daftar apa saja yang mau dibawakan dari Jakarta, saya malah tidak kepingin apa-apa. Padahal perjuangan Ades dimulai dari membuat e-paspor sampai harus antri berhari-hari, baru berhasil pada hari ke-5 dimana akhirnya mengantri dari jam 2 pagi. Kemungkinan diterimanya juga belum jelas. Ketika itu Donald Trump baru terpilih dan Indonesia termasuk dalam watch list negara yang dibatasi jumlah visa kunjungannya. Di luar itu, untuk mendadak pergi dari Jakarta, sebenarnya Ades pun harus meninggalkan sejumlah urusan penting yang belum tuntas.

Hari yang dinanti itu tiba. Saya, suami dan Keeva menjemput Ades dari bandara. Saat di parkiran, perasaan tidak enak itu muncul lagi. Saya ingin lari keluar dari mobil dan tidak bisa duduk diam. Suami bukan main khawatirnya. Apalagi saat itu ia dan Keeva tinggal di mobil dan saya sendiri yang mencari Ades di bandara. Saat berlari dari satu terminal ke terminal lainnya mencari Ades, saya merasa menjadi diri saya sendiri. Akhirnya saat saya melihat Ades, saya segera memeluknya sambil menangis. Ya, saya bisa menangis! Setelah sekian lama saya merasa tanpa emosi, saya gembira sekali akhirnya bisa mengeluarkan air mata.

My sister, my hero.

Setelah kakak saya Ades datang, saya dan Keeva kembali tinggal bersama suami di apartemen. Kalau ada penghargaan orang paling keras kepala dan pantang menyerah sekaligus selfless berkorban untuk kepentingan orang lain, mungkin saya akan menganugerahkannya pada Ades. Ialah yang harus menghadapi hari-hari awal di mana efek obat saya “getting worse before getting better”.  Bagaimana tidak, saat ia datang membawakan oleh-oleh dari keluarga dan teman-teman di Jakarta, saya bukannya bergembira dan berterima kasih, malah super cemas karena tidak tahu mau disimpan di mana oleh-oleh sebanyak itu. Saya juga panik melihat tumpukan baju kotor darinya. Ada banyak kecemasan-kecemasan kecil terhadap hal-hal yang sebelumnya sama sekali bukan masalah bagi saya. Ini juga merupakan karakteristik depresi. Saat ia baru datang dan masih  jetlag, saya malah meninggalkannya tidur bersama Keeva. Saya keluar dan memandang jembatan jalan layang dan berpikir untuk menjatuhkan diri dari jembatan. Kira-kira kalo jatuh langsung mati nggak ya?, kurang tinggi nggak ya jembatannya, pikir saya waktu itu berkalkulasi. Untung suami menelpon saya karena Ades memberitahunya. Akhirnya saya balik lagi ke apartemen. Kebayang paniknya Ades saat bangun tidur siang, karena saya tidak ada di apartemen, dan dia baru saja datang sehingga tidak tahu harus mencari kemana. Yang paling horror tentu saja saat ia menemukan saya di kamar, dengan kabel listrik dari lampu tidur terjerat di leher saya. Satu lagi, ia juga memergoki saya mengambil pistol suami.  Sebelum minum obat ini, saya hanya merasakan pikiran bahwa Keeva lebih baik tanpa ibunya, saya benci diri saya, mendingan saya meninggalkan Keeva. Tetapi tidak sampai memikirkan metode, apalagi melakukan tindakan. 3 kali Ades menyelamatkan saya dari tindakan bodoh itu. Kalau tidak ada dia mungkin Keeva sudah tidak punya ibu. Banyak sekali ‘dosa’ saya sama Ades, saya cuma berharap Tuhan mengampuni karena saya masih ‘sakit’. Yang ada di pikiran saya waktu itu: Sekarang sudah ada Ades, biarlah Ades yang merawat Keeva, dia lebih telaten, dia lebih berhak punya anak daripada saya. Biarlah saya pergi saja. Twisted banget kan? Berbagai upaya diusahakan kakak dan suami untuk meluruskan twisted mind ini. “Terus, kalo mati, ntar Ades dong yang repot bawa mayatnya ke Jakarta? Harus bilang apa sama mama papa?”. Suami sampai mengancam “Kalau kamu bunuh diri saya akan bilang Keeva bahwa ibunya melakukan itu karena benci pada anaknya”.  Kami jadi cukup sering terlibat dalam pembicaraan yang penuh dengan muatan emosi naik turun. Melelahkan untuk semua.

Kalau ingat sekarang rasanya malu, tetapi saya rasa episode ini penting diceritakan untuk menunjukkan bahwa pendampingan sangat diperlukan dalam tahap awal konsumsi obat anti depresi. Kita tidak pernah tahu seburuk apa efek getting worse itu pada tiap pasien.

Selain pikiran saya yang masih kacau, saya juga menderita sakit fisik di tangan hingga dalam posisi tertentu tidak bisa mengangkat Keeva. Seperti ada kejutan listrik di kedua pergelangan tangan. Dokter umum di Dallas mendiagnosa bahwa ini Carpal Tunnel Syndrome biasa, ia memberikan obat anti peradangan dan menyuruh saya membebat tangan saya dengan splint. Tapi sampai beberapa bulan tidak kunjung membaik, malah bertambah nyeri. Belakangan dokter bedah tulang di Rumah Sakit Islam Pondok Kopi Jakarta-lah yang memberikan diagnosa dan tindakan yang lebih tepat. Namanya De Quervain syndrome, atau mommy thumb. Rupanya si dokter sendiri pernah mengalaminya sampai  harus dioperasi. Sering terjadi pada ibu baru melahirkan karena terlalu sering mengangkat bayi, dan umumnya terjadi setelah 3 bulan melahirkan saat berat bayi sudah mulai meningkat. Faktor usia saya yang sudah 40, bertubuh kecil dengan bayi yang besarnya di atas rata-rata juga memperbesar resiko. Saya datang pada saat yang tepat, saya hanya di suntik steroid di tendon pergelangan tangan. Untunglah, kata dokter, telat sedikit saya mungkin harus dioperasi.

Dengan keadaan yang sulit mengangkat Keeva pada saat itu, tentu saja keberadaan kakak saya sangat berarti. Kehadirannya bukan hanya membantu saya dalam merawat Keeva, tetapi juga menyadarkan kembali saya akan pentingnya bentuk-bentuk ikhtiar lainnya untuk mencapai kesembuhan, selain minum obat. Ia menunjukkan video di YouTube tentang berbagai macam kasus depresi dan psikosis pasca melahirkan, seperti seorang perempuan terkena delusi aneh sampai yakin bahwa bayinya sudah mati. Ia menunjukkan keadaan perempuan itu sekarang baik-baik saja dan anaknya sehat, meyakinkan bahwa saya juga bisa sembuh seperti dia. Ades juga merukyah saya, mengajak saya yoga, membawakan buku-buku doa, air zam-zam dari temannya, mencoba menghubungkan kembali saya dengan teman-teman Indonesia di Dallas, bahkan membuatkan minuman kunyit setiap hari.

Kenapa kunyit? Ternyata dari jurnal ilmiah yang ia baca, kunyit sudah dicobakan pada penderita depresi. Terbukti bahwa gabungan kunyit + fluoxetine yang saya minum memberikan efek lebih baik sebagai anti depresi, daripada hanya minum fluoxetine saja. Kunyit juga mengaktifkan gen yang memproduksi antioksidan, membantu organ hati mengeluarkan racun dan menghambat peradangan yang menyebabkan fungsi otak terganggu. Sebagaimana kita ketahui, depresi terjadi karena ketidakseimbangan senyawa kimia di otak. Dengan khasiat anti peradangan itulah kunyit membantu meningkatkan kemampuan regenerasi sel otak, menaikkan kemampuan otak meregulasi hormon dan memproduksi serotonin, senyawa yang dibutuhkan untuk menanggulangi depresi. Mungkin inikah salah satu sebabnya perempuan Indonesia jaman dulu lebih jarang terkena depresi? Mereka rajin minum jamu usai melahirkan, juga banyak menggunakan kunyit pada bumbu makanan sehari-hari, selain tentu saja sinar matahari yang berlimpah dan tradisi yang jarang membiarkan ibu baru melahirkan mengasuh bayinya sendirian.

ades dan keeva

Ades dan Keeva, Maret 2017, di apartemen kami.

Dosis dan jenis obat ditambah.

Pada kunjungan psikiater rawat jalan yang pertama kali setelah saya keluar dari rumah sakit, saya menceritakan semua percobaan bunuh diri yang saya lakukan dan bagaimana saya malah merasakan cemas dan gelisah yang bertambah.

Dari situ diagnosa terakhir saya adalah “Major Depressive Disorder, severe with Psychotic Features”, depresi saya sudah mencapai taraf ‘severe’ alias parah. Artinya pengobatan tidak atau belum menunjukkan respon positif. Dokter mengajukan 2 alternatif: 1. Meningkatkan dosis obat, 2. Mencoba electroconvulsive therapy, yaitu menyetrum otak dengan arus listrik saat pasien dalam keadaan bius total. Terapi ini harus dilakukan 3 minggu sekali dan efek samping yang mungkin terjadi adalah kebingungan dan kehilangan ingatan terhadap hal-hal yang terjadi sebelum terapi. Dari situ suami dan saya memilih untuk meningkatkan dosis obat, karena secara waktu terasa lebih mungkin dilakukan, lagipula ngeri membayangkan memory loss akibat kejutan listrik.

Selain meningkatkan dosis obat, dokter menambahkan lagi satu obat, lorazepam, sebagai penenang jika diperlukan. Fungsinya untuk mengcounter efek samping awal dari fluoxetine yang menyebabkan jitteriness syndrome yang saya alami. Saya pikir:  duh, repot banget ya, efek samping obat A musti dicounter dengan obat B, nanti obat B ada lagi efek sampingnya dan harus minum obat C. Sungguh rumit, inilah makanya saya dari dulu menghindari minum obat.

Untungnya, lorazepam ternyata cocok buat saya. Efeknya langsung terasa beberapa saat setelah meminumnya. Saya merasa optimis dan seperti bisa menjadi diri sendiri lagi. Menurut Ades, obat itu digunakan kriminal untuk merampok bank, supaya bisa tenang dan menghilangkan cemas dalam menjalankan misinya. Dengan bantuan obat ini, banyak kemajuan yang bisa dicapai sehingga saya mulai pede keluar dan mengajak Ades jalan-jalan keliling Dallas. Kami pergi ke museum-museum dan taman-taman di Dallas. Ades juga saya kenalkan dengan beberapa rekan kerja saya, salah satunya Harianne, seorang ibu berusia 70 tahun. Ia suka membawakan saya makanan dan menemani saya di apartemen saat kondisi saya kritis dan merasa tidak bisa menjalani hari sendiri. Saya selalu membawa lorazepam untuk berjaga-jaga. Saat kami pergi ke kedai kopi, di perjalanan saya merasa jitteriness syndrome muncul lagi sehingga terpaksa mengkonsumsi lorazepam. Hasilnya setengah jam kemudian saya merasa enak. Saat itu saya bahkan berkata pada Ades, “Seandainya harus minum obat ini seumur hidup, rela aja deh, yang penting bisa menikmati mengasuh Keeva”. Kebayang nggak, pernyataan ini muncul dari seorang yang dulu paling ogah minum obat. Perasaan saya antara senang bisa berfungsi dengan normal, tapi juga takut kecanduan. Kadang saya paksakan tidak meminumnya sampai saya merasa benar-benar tidak mampu. Saya tidak ingin nantinya ketergantungan obat.

Berhubungan kembali dengan keluarga dan teman-teman.

Ades kemudian menceritakan rencananya mengajak saya ke Houston bertemu temannya untuk refreshing dan melakukan rukyah dengan seorang Ustadz kenalan teman tersebut, sekalian untuk latihan bepergian naik pesawat dengan membawa Keeva.  Ia bertekad membawa saya pulang ke Jakarta menemui keluarga. Katanya, kalau perjalanan udara yang dekat ke Houston (1 jam) bisa saya dan Keeva lalui, kita bisa lanjut ke perjalanan jauh ke Jakarta. Mulanya saya menganggap rencana Ades membawa saya ke Jakarta masih terlalu ambisius, tetapi ternyata kondisi saya terus membaik dan saya mulai merasa pede untuk bepergian.

Berkat Ades akhirnya Keeva bisa naik pesawat pertama kali ke Houston. Sedikit-demi sedikit, kemampuan kognisi saya mulai pulih, dan paranoid saya mulai menghilang. Saya mampu browsing internet untuk mencari cara membuat paspor anak, dan pergi sendiri ke kantor layanan publik mengurus akte kelahiran untuk paspor Keeva, tanpa mengalami kelelahan mental yang berlebihan.

Alhamdulillah, keadaan saya makin membaik dan akhirnya pelan-pelan saya mampu packing untuk perjalanan jauh ke Jakarta. Keeva ternyata bayi yang sangat gampang, sama sekali tidak menyusahkan dalam perjalanan 26 jam dari Dallas – Dubai –  Jakarta. Malah saya yang menyusahkan, karena waktu itu saya tidak meminum lorazepam. Padahal ini merupakan perjalanan panjang dan berat. Walhasil saya sama sekali tak bisa tertidur dan banyak memarah-marahi Ades. Ketika akhirnya saya sadar, saya sangat menyesal. Saya bertanya,”Kenapa Ades baik dan sabar banget sih?” Jawabannya amat menohok, “Karena cuma dengan jadi orang baik Ades bisa berkumpul di surga dengan anak Ades nanti”.  Oh ya, saat kondisi lelah tanpa tidur ini Ades putuskan untuk membuka kamar di hotel transit di bandara Dubai. Ia meminta saya untuk mencoba istirahat dan tidur. Di sini pentingnya pendampingan saat dalam terapi, karena seringkali saya tidak bisa berpikir jernih dan kurang bisa membuat keputusan yang akurat terhadap hal-hal yang dihadapi.

Kedatangan Keeva di Jakarta sangat menyenangkan orang tua dan keluarga saya, disusul kunjungan saudara dan teman-teman saya ke rumah kami di Pondok Kelapa yang ingin melihat Keeva.  Keeva seolah-olah menjadi perantara yang memungkinkan kembali saya bertemu kembali teman-teman SMP, SMA, kuliah dan kantor yang sudah lama tidak bersua. Suasananya betul-betul seperti lebaran. Kami menghabiskan waktu sebulan di Jakarta, sebelum akhirnya Ades mengantar saya dan Keeva kembali ke Dallas.

Sepulangnya dari Jakarta, saya mulai berhubungan lagi dengan orang-orang Indonesia di Dallas, pergi ke rumah sahabat saya Leyla untuk makan-makanan Indonesia bareng-bareng. Leyla adalah orang yang pertama tahu bahwa saya masuk rumah sakit, dari suami saya. Suami ketika menyadari saya seperti bukan diri saya, ia menghubungi Leyla untuk menanyakan apakah Leyla merasakan hal yang sama. Semua dilakukan tanpa sepengetahuan saya. Tetapi Leyla diwanti-wanti oleh suami untuk tidak memberitahu siapa-siapa, karena ingin menjaga privacy saya. Saat itu saya masih paranoid, mencurigai Leyla sebagai salah satu teman yang ngomongin dan menertawakan saya. Setelah kejadian ini sayapun baru tahu, saat itu Leyla merasa dilema antara ingin memberitahu teman-teman lain di Dallas untuk membantu, tetapi juga tidak ingin ikut campur. Di sini saya juga telat menyadari pentingnya mengakui kalau kita punya masalah dan butuh pertolongan. Saat keluarga kita jauh di sana, teman-teman dekat kitalah yang bisa menjadi keluarga kita di sini.

Penutup.

Saat saya menulis ini, keadaan saya sudah jauh membaik, bisa dibilang 95%. Saya masih harus mengunjungi psikiater 4 bulan sekali.  Dari 4 jenis obat yang saya minum di awal, sekarang hanya tinggal 1 saja, dan psikiater baru akan mengurangi dosisnya bulan Januari 2018 nanti, untuk kemudian distop sama sekali.

Usia Keeva sekarang 14 bulan, ia senang sekali bermain dengan tupai, burung, bebek dan anjing. Ia sudah bisa berjalan dan membantu mamanya menaruh cucian piring bersih:

 

 

 

 

Ketika Nikmat ‘Waras’ itu Dicabut: Pengalaman Melawan Psikosis dan Depresi Pasca Melahirkan (2)

BAGIAN KE-2 DARI 3 TULISAN

Bergaul dengan sesama penderita gangguan mental.

Pada awalnya, rumah sakit menyediakan pompa ASI agar saya bisa memompa ASI dan dibawa pulang suami untuk Keeva. Namun ternyata, saya harus meminum 3 jenis obat yang tidak aman untuk ibu menyusui. Akhirnya sayapun membuang jauh ambisi menyusui Keeva sampai 6 bulan dan harus menentukan skala prioritas. Obat yang diberikan adalah obat anti psikosis dan insomnia (Olanzapine), obat anti depresi (Fluoxetine) dan obat tidur tambahan bila perlu (Trazodone). Dulu saya sering dikatain ‘pelor’: nempel molor, atau kebluk, karena bisa tidur gampang di manapun, kapanpun, dan kalau sudah tidur susah dibangunkan. Saya benar-benar merindukan nikmat yang satu itu. Sekarang mau tidur saja harus pakai obat. Tapi Alhamdulillah, setidaknya obat ini bekerja. Selama di rumah sakit ini akhirnya saya merasakan nikmatnya tidur nyenyak.

Mulanya saya sedikit syok karena unit psikiatri Green Oaks tempat saya tinggal ini lebih mirip penjara. Ruang tamu di tengah-tengah, dikelilingi kamar-kamar pasien, setiap kamar dihuni 2 orang. Semua ruangan sama sekali tidak ada jendela, seperti tidak ada hubungan dengan dunia luar. Kamar mandi dikunci dan harus memberitahu pengawas bila ingin menggunakan. Saya harus berbagi kamar mandi dengan belasan ‘pesakitan’ lainnya. Jilbab saya ditahan, tidak boleh dikenakan karena takut dipakai mengikat leher untuk bunuh diri. Penggunaan telepon genggam tidak diperbolehkan. Untungnya saya masih diperbolehkan menelpon keluarga di Jakarta lewat Whatsapp, di bawah pengawasan petugas.

Saya melihat berbagai macam orang sakit, dari mulai yang ‘hanya’ alkoholik biasa dan masih bisa diajak ngobrol, sampai yang terus-terusan jalan berkeliling membentuk lingkaran dengan tatapan kosong, atau berkali-kali menjatuhkan diri sehingga harus disuntik obat penenang. I learned the hard way, kalau depresi, sebagaimana gangguan mental lainnya, ternyata bukan penyakit ecek-ecek, dan bisa berakibat tambah parah kalau tidak segera ditangani. Ada yang mengalami stress tingkat tinggi karena gagal masuk sekolah kedokteran hewan,  tiap hari ia mengoceh dengan kosa kata yang sangat sophisticated. Ada yang tidur terus seharian di ruang tamu, tidak pernah ke kamar mandi sampai (maaf) bau pesing. Ada juga yang hobinya mengatur pasien lain, menyuruh kami semua berbaris dan selalu memanggil saya ‘anak kecil’. “Hey you, you are a kid not an adult. Why are you here? Where are your parents?”.  Ada mbak-mbak kulit hitam yang selalu memandang saya sambil bilang “you are so pretty”, “you don’t look that crazy, why are you here?”. Saya jadi ngeri ketika harus berpapasan di kamar mandi dengannya. “What is your sign?”. Saya jawab takut-takut “Pisces”. Dan dia bilang “Really? I used to have a Pisces girlfriend”. So creepy, apalagi tempat mandi di sini terdiri dari bilik-bilik tanpa pintu, hanya gorden saja. Benar-benar tidak ada privacy.

65999858-Mental-hospital-patient-sitting-on-a-floor-in-a-white-room-Stock-Photo

Pertama kali suami diperbolehkan menjenguk saya, ia sangat terpukul melihat itu semua. Selain karena jam besuk hanya sejam dan hanya 2 kali seminggu, ia tidak bisa tidur membayangkan saya harus berkutat di ruangan sesempit itu dan disuguhi pemandangan berbagai macam ulah pasien lainnya. Katanya, berada di tempat itu untuk beberapa saat saja langsung membuatnya trauma, bagaimana bisa tega membiarkan saya berlama-lama? ‘Kumpul dengan orang-orang lunatic, bisa jadi kamu tambah sakit, bukan tambah sembuh’, katanya.  Saya akui memang keadaannya tidak menyenangkan, tetapi di satu sisi, bisa mengamati orang lain yang kondisinya terlihat lebih parah dari saya, membuat saya merasa jauh lebih bersyukur. Somehow it humbled me in many ways, bahwa jangan pernah lagi menjudge penderita sakit mental, kita tidak tahu persis apa yang membuat mereka demikian, mereka butuh dukungan, dan you never know you can be one of them. Kita tidak bisa memilih nikmat mana yang akan Tuhan cabut dari kita.

Dipindahkan ke rumah sakit lain.

Setelah menjalani 3 malam di Green Oaks Medical City, suami akhirnya memindahkan saya di fasilitas yang lebih ‘manusiawi’. Saya ditransfer ambulans ke Zale Lipshy University Hospital, yang jaraknya lebih dekat ke apartemen kami dan saya boleh dijenguk tiap hari. Fasilitasnya memang sangat jauh berbeda dengan tempat sebelumnya. Dari segi ukuran mungkin 10 kali lebih besar.  Di ruang komunitasnya ada alat-alat fitness, segudang buku bacaan dan majalah dari mulai buku self-help sampai National Geographic, TV dan video, board games sampai grand piano. Jendelanya besar sampai ke langit-langit sehingga pasien tidak merasa ‘terkurung’. Kamar mandi ada di dalam kamar dan saya bisa menggunakannya kapan saja, tidak harus melapor petugas dan tidak perlu berbagi kamar mandi dengan belasan pasien lainnya. Semua kamar dilengkapi dengan kamera video yang diawasi 24 jam. Saat saya sholat, petugas datang mengecek apakah saya baik-baik saja. Rupanya kegiatan sholat yang terpantau dari kamera pengawas terlihat seperti ritual aneh karena saya menggunakan selimut untuk jilbab/mukena. Seperti di fasilitas sebelumnya, disini jilbab saya juga disita karena bisa menjadi alat untuk mencekik leher/membunuh diri. Menu makanan boleh pilih sendiri, menunya pun menu sehat yang unik seperti di fusion restaurant, bukan seperti makanan ‘penjara’ di tempat sebelumnya yang semua seragam dan seadanya. Karena tempatnya luas, pasien tersebar dan tidak ‘menumpuk’ di satu tempat. Mereka juga kelihatan tidak separah pasien di rumah sakit sebelumnya. Psikiaternya tidak hanya 1 tapi 3 orang dan semua mendengarkan saya dengan sangat baik, tidak terburu-buru seperti psikiater di tempat sebelumnya. Semua kondisi dan fasilitasnya jauh lebih baik, kecuali satu: saya tidak bisa berkomunikasi dengan keluarga di Jakarta menggunakan Whatsapp seperti di tempat yang lama. Di sinilah saya merasa, fasilitas semewah apapun juga tidak ada artinya jika tidak ada dukungan keluarga. Ayah dan Ibu saya juga panik, sempat protes kenapa saya dipindahkan dan sampai meminta suami tidak menyembunyikan sesuatu dari mereka, karena saya mendadak tidak bisa kontak lagi dengan mereka.

Untunglah, suami sukses membujuk perawat untuk mengerti keadaan saya. Akhirnya saya diperbolehkan menggunakan telpon internasional untuk memberitahukan keluarga di Jakarta  bahwa saya ‘baik-baik saja’. Kabar gembira bahwa kakak saya, Ades, sedang dalam proses aplikasi visa Amerika Serikat untuk mengunjungi saya. Sebelum masuk rumah sakit, kalau saya lagi ‘galau’ paling enak memang telepon beliau. Kebetulan dia seorang psikolog. Ades pernah punya anak yang meninggal dalam usia kandungan 5 bulan, dan ia sendiri koma selama beberapa minggu. Sampai saat ini ia belum dikaruniai anak lagi. Pengalaman koma ini membuatnya jadi orang yang positif dan penuh syukur karena ‘masih diperbolehkan hidup’. Ia yang paling bisa memberikan pandangan yang logis dan tidak menghakimi saya, juga nasihat yang berimbang antara ikhtiar menggunakan obat dengan ikhtiar mendekatkan diri pada Allah.

Bukan apa-apa, penyakit seperti ini kan sering dituduh, “ah elu mah kurang bersyukur” atau “kok bisa kepikiran bunuh diri, kayak nggak punya Tuhan aja. Obatnya istighfar aja!” Apalagi terkadang ibu-ibu doyannya suka membanding-bandingkan siapa yang paling kuat. “Ah gue dulu juga lebih susah, udah ada anak pertama”, “Keeva mah baik-baik aja, gue lebih berat karena anak gue bermasalah”,  dan sebagainya. Ini yang terkadang membuat saya enggan untuk curhat sembarangan. Takut dikira cengeng. Dengan Ades saya nggak pernah malu untuk ‘cengeng’. Padahal kalau mau, ia bisa saja memainkan kartu: “Cemen amat lu, masih untung depresi tapi masih punya anak. Gue udah kehilangan anak, depresi pula”. Tapi itu tidak ia lakukan. Bagaimana sabarnya ia harus mendampingi adiknya yang sakit ini bisa disimak nanti.

Setelah 3 malam di Zale Lipshy, saya diperbolehkan pulang dengan syarat: harus ada keluarga yang mendampingi saya mengasuh Keeva. Kondisi harus dipantau terus oleh psikiater rawat jalan sampai saya mampu mengasuh Keeva sendiri.  Psikiater menambahkan 1 resep lagi yaitu vitamin D dosis tinggi, juga meyakinkan kalau saya mengerti bahwa efek samping dari obat tidur Trazodone adalah konstipasi, efek samping obat psikosis Olanzapine adalah penambahan berat badan dan kadar gula darah. Ia mau saya mengerti sebelum komplain belakangan. Saat dirawat itu berat saya menurun drastis, bahkan lebih ringan dari berat saya sebelum hamil. Depresi memang mengakibatkan tidak minat makan (atau makan berlebihan buat sebagian orang). Jadi saya pikir, biarlah tambah berat badan, saya lagi butuh. Lagian saya juga nggak ada masalah dengan gula darah. Di situ saya baru nyadar bahwa ternyata saya nggak bisa ngejudge orang Amerika yang gemuk-gemuk ini melulu karena makan junk food dan malas olahraga. Bisa jadi mereka gemuk karena efek samping obat psikosis semacam ini, karena di Amerika Serikat angka penderita gangguan mental tergolong tinggi. Belakangan saya baru baca bahwa penderita schizophernia harus minum obat ini seumur hidup, agar bisa berfungsi normal sehari-hari. Nah kebayang, berat badan dan gula darah harus dipantau terus. Kasarnya, pilihannya gemuk dan sakit gula atau ‘gila’? Soal efek samping obat ini memang rumit. Makanya buat yang sehat, bersyukurlah dan jaga terus kesehatan supaya nggak perlu minum obat dengan segala macam efek samping seperti ini.

Saat akhirnya saya pulang ke rumah, ternyata perjuangan belum selesai. Ada satu lagi efek samping obat yang sangat membahayakan dan luput dijelaskan dokter. Baru saya sadari setelah mengalami sendiri dan membaca brosur obatnya.

Bersambung ke Bagian ke 3 : Berjuang melawan efek samping obat

Sedikit catatan.

Seorang teman praktisi dan pengamat kesehatan mental menganjurkan agar kata waras pada judul tulisan saya ini tidak dipergunakan lagi sebagai lawan dari gangguan mental. Karena ini akan memperparah stigma bahwa orang yang sakit mental itu selalu tidak waras. Saya membiarkan kata tersebut karena memakai tanda kutip, justru untuk menunjukkan keawaman saya dan kekurang sensitifan saya pada awalnya terhadap isu gangguan mental ini.

Ketika Nikmat ‘Waras’ itu Dicabut: Pengalaman Melawan Psikosis dan Depresi Pasca Melahirkan (1)

BAGIAN KE-1 (PERTAMA) DARI 3 TULISAN

Menjadi ‘lemot’ dan susah tidur.

Nikmat sehat memang lebih terasa saat kita sakit, saya menyadari penuh itu. Tetapi saya tidak pernah menyangka kalau ‘sakit’ terberat yang saya alami ini ternyata bukan sakit fisik, tetapi dicabutnya nikmat pikiran sehat.

Awalnya, usai melahirkan, saya merasakan penurunan fungsi kognisi yang sangat drastis. Belajar menggunakan pompa ASI, mengatur setelan car seat dan kereta bayi menjadi tugas berat karena saya harus membaca instruksi berkali-kali tetapi tidak kunjung mengerti. Saya pun bingung kenapa saya se’lemot’ ini. Memasak adalah salah satu kegiatan yang membuat saya frustasi kewalahan. Banyak resep yang dulu saya suka, sekarang tidak ingat lagi caranya. Untuk membaca instruksi pada resep pun harus berkali-kali karena susah sekali konsentrasi. Saya yang biasanya suka buka sosmed dan update perkembangan berita di dalam dan luar negeri, jadi kudet kalau diajak ngobrol karena memang tidak pernah lagi ngikutin berita. Membaca literatur tentang menyusui pun butuh waktu yang lama. Grup-grup Whatsapp yang biasanya menemani, cuma di clear chat sampai akhirnya keluar. Bahkan hal simpel seperti memilih dan memesan popok di Amazon bisa membuat otak saya kewalahan, overwhelmed, linglung. Saya juga membutuhkan waktu yang lama untuk bersiap-siap keluar rumah serta menyiapkan perlengkapan bayi untuk bepergian. Segala ‘cita-cita ambisius’ seperti mengajak bayi traveling harus saya pupus dalam-dalam. Gimana mau packing dan traveling kalo cuma keluar rumah aja linglung?

Semua itu menyebabkan saya frustasi dan cemas berlebihan: Kenapa saya jadi lemot begini? Bagaimana saya bisa jadi ibu yang baik kalau mikir aja lama? Perasaan itu berkembang menjadi rasa bersalah dan rendah diri berlebihan. Belakangan saya baru tahu dari psikiater di unit gawat darurat kalau apa yang saya alami namanya pseudo dementia. Sulit konsentrasi, mudah lupa, kesulitan dan kurang minat melakukan hal-hal yang dulu biasa dilakukan, jadi linglung dan lemot itu hanyalah salah satu gejala yang biasanya menyertai depresi.

Gejala lainnya adalah susah tidur atau insomnia. Awalnya, saya beranggapan wajar sekali kalau punya bayi kurang tidur. Pada usia 1.5 bulan, perut Keeva bermasalah dan kerap menangis. Dokter menyuruh saya diet agar ASI saya tidak bergas. Ia juga memberi Keeva obat pereda kolik dan GERD karena ia susah tidur telentang dan terus bangun menangis. Kadang saya menidurkannya di car seat karena dia tidak kunjung tidur dalam posisi telentang dan harus selalu digendong. Memang benar, kurang tidur buat ibu yang baru bersalin itu wajar. Tetapi, tidak bisa tidur sama sekali selama 24 jam bahkan lebih,  adalah di luar kewajaran dan dapat memicu psikosis, yaitu keadaan mental yang terganggu dimana penderita kehilangan kontak dengan realita/kenyataan. Bisa mengalami delusi (percaya suatu hal yang bukan kenyataan), halusinasi (mendengar atau melihat hal yang tidak nyata) atau keduanya. Inilah yang saya alami. Psikosis pasca melahirkan/postpartum psychosis adalah gangguan mental pasca melahirkan yang paling berat dan masih tergolong jarang. Baby blues adalah gangguan ringan, lanjutannya adalah depresi pasca melahirkan/postpartum depression (PPD). Banyak wanita pasca melahirkan mengalami depresi, tapi kebanyakan tidak disertai psikosis. Sebaliknya psikosis pasca melahirkan biasanya selalu disertai depresi. Karena inilah akhirnya saya harus berpisah dengan Keeva ketika usianya hampir 4 bulan. Saya harus dirawat di unit kesehatan mental di rumah sakit.

16633526-Abstract-word-cloud-for-Postpartum-psychosis-with-related-tags-and-terms-Stock-Photo

Yang lebih mengejutkan buat saya adalah semua ini terjadi setelah kehamilan yang menyenangkan dan proses persalinan yang sangat mudah. Pada saat hamil, saya hepi banget, jauh dari depresi. Kehamilan dan janin juga sehat serta lolos segala macam test yang seabgreg-abreg buat perempuan hamil di atas 40 tahun. Saya sangat semangat mengatur menu sehat, menjaga benar apa yang saya makan, berolahraga renang setiap hari, bersepeda ke kantor sampai usia kehamilan 6 bulan, tetap aktif dan bekerja sampai minggu terakhir kehamilan. Semua saya lakukan karena saya bertekad punya anak sehat dan melahirkan secara normal. Alhamdulillah, persalinan saya sangat mudah dan tidak sesakit yang saya bayangkan. Setelah berenang di siang hari, sore sampai malam saya terus berkontraksi dan dini hari saya melahirkan. Dokter Kandungan (Obgyn) saya pun selalu mendukung dan memberi semangat untuk bisa melahirkan normal. Ia membuat saya lebih pede walau tadinya cemas karena pernah keguguran dan kini mengandung di usia 40 tahun. Kehamilan yang bermasalah dan komplikasi saat melahirkan bisa merupakan faktor pemicu depresi pasca melahirkan. Tetapi belajar dari kasus saya, ternyata ibu-ibu yang hamilnya sehat dan lahirannya gampang pun harus tetap waspada dengan depresi pasca melahirkan.

Menolak minum obat anti depresi

Saya mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres ketika setelah usia Keeva lewat 2 bulan, saat ia akhirnya bisa tidur nyenyak semalaman tanpa bangun, saya masih tetap tidak bisa tidur. Malam hari saya malah gelisah dan beberes rumah, merapikan dokumen, sampai memperbaiki thermostat AC.  Kalau diam di tempat tidur pikiran terus berkecamuk sehingga saya harus mengalihkannya dengan melakukan sesuatu. Saya mencoba minum obat tidur dijual bebas yang diperbolehkan untuk ibu menyusui (Diphenhydramine HCl). Efeknya hanya tubuh saya yang lelah, seperti paralyzed, kaku tidak bisa bergerak dari tempat tidur tetapi pikiran tetap berkecamuk, segala macam kekhawatiran seolah berlomba-lomba di otak saya dan tidak bisa distop. Belakangan saya baru tahu dalam istilah psikiatri kalau ini namanya racing thoughts, alias pikiran yang berkejaran. Ternyata ini juga gejala dari psikosis pasca melahirkan.

Melihat kondisi saya yang paralyzed di tempat tidur, suami saya pun baru mengerti saya mungkin mengalami depresi. Saat itu suami baru bercerita bahwa dokter anak saya sudah melihat gejala depresi pasca melahirkan saat kunjungan 2 bulan Keeva, karena saya tampak khawatir berlebihan. Saat saya ke toilet, ia menanyakan pada suami apakah saya terlihat depresi, pernah kelihatan menyakiti bayi, atau diri sendiri? Apakah perlu diresepkan obat penenang? Saat itu suami saya tentu saja menjawab tidak. Kini ia melihat sendiri walau saya tidak pernah menyakiti bayi atau diri sendiri, saya kelihatannya butuh obat resep dokter. Sayangnya saya masih bersikeras tidak mau minum obat. Sebagai orang yang jarang sakit, menjaga tidak sampai sakit dan tidak mau minum obat kalau tidak perlu-perlu banget, saya ngeri berurusan dengan obat penenang. Saya masih bandel dan gengsian dan beranggapan ini akan sembuh sendiri. Saya baru ‘menyerah’ ketika suatu malam saya bukan hanya tidak bisa tidur dan racing thoughts mengganggu lagi, tapi kali ini saya merasa otak seperti ‘disengat listrik’ dan merasa ada yang mem’bajak’ pikiran saya sehingga saya mendadak bukan diri saya. Paginya, suami membawa ke dokter Obgyn saya. Saat itu saya merasa bersalah karena merasa penyakit saya ini “nggak penting”, si dokter pasti punya kerjaan lainnya yang lebih penting daripada melayani seorang yang “cuma depresi”. Saya menganggap diri saya lemah dan cengeng. Di situlah dokter mengatakan bahwa rasa bersalah yang berlebihan juga ciri depresi. Ia berulang kali mengatakan: “Jangan merasa malu, jangan merasa bersalah. Siapapun bisa kena depresi. Sama saja dengan orang yang sakit diabetes atau darah tinggi, mereka harus minum obat.  Depresi kamu terjadi karena ketidak seimbangan senyawa kimia di otak, juga pengaruh hormon-hormon pasca melahirkan, sehingga kamu perlu obat untuk menyeimbangkannya atau terapi hormon.” Setelah dibujuk akhirnya saya mau juga minum obat anti depresi. Saya masih ingin menyusui, karena itu obat anti depresi yang dipilih pun untuk yang masih aman bagi ibu menyusui, yakni Setraline HCl (Zoloft).  Sang dokter tetap menyarankan saya ke psikiater, karena dari gejala yang saya tuturkan, ia berkata saya mungkin tidak hanya terkena depresi pasca melahirkan tetapi juga psikosis pasca melahirkan, dan psikiater lah yang bisa menindak lanjuti obat apa yang paling cocok.

3 hari setelah meminum obat anti depresi, saya merasa kondisi saya bertambah lemah dan semakin parah. Perut sakit luar biasa, otot tremor sehingga sulit untuk beraktivitas, insomnia malah menjadi-jadi. Kalaupun bisa tidur sekilas, isinya mimpi buruk semua. Pagi hari yang harusnya saya semangat mengasuh Keeva, malah lebih tidak bertenaga sama sekali. Saya semakin takut tidak bisa menunaikan tugas sebagai ibu, kasian si bayi sendirian di rumah dengan ibu yang ‘sakit’. Ayah mertua adalah seorang pharmacist (apoteker), menurut beliau, semua obat anti depresi tidak langsung cespleng mujarab, tetapi malah biasanya “getting worse before getting better”. Jadi kondisi saya yang bertambah buruk sebelum merasakan efek membaik adalah lumrah.  Saya diminta sabar selama 2-4 mingguan, sampai obatnya bekerja. Saya malah semakin takut. Apa? Saya harus menunggu selama 4 minggu? Selama 4 minggu mengasuh anak sendirian dengan kondisi seperti ini? Kalau di Jakarta mungkin masih bisa, karena ada yang membantu. Bagaimana kualitas pengasuhannya nanti kalau Keeva diasuh oleh ibu yang di bawah pengaruh obat? 4 minggu, terlalu banyak perkembangan Keeva yang tidak bisa saya ikuti optimal. Karena tidak tahan lagi dengan efek samping obat yang malah membuat saya makin tidak bisa menjalankan fungsi sebagai ibu,  saya melaporkan ke dokter. Saya diperbolehkan untuk menghentikan obat pada hari ke-4, sebelum terlalu jauh yang berakibat lebih parah jika mendadak dihentikan. Kondisi saya memang sejenak membaik dan saya bisa lebih ‘menikmati’ mengasuh Keeva. Dokter Obgyn tetap bersikeras saya harus ke psikiater, untuk menemukan obat yang cocok dan efek sampingnya tidak begitu parah.

Masuk unit gawat darurat psikiatri

Ternyata memilih psikiater dan menjadwalkan kunjungan pada akhir tahun saat liburan Natal dan Tahun Baru  tidak mudah, apalagi saat itu saya sedang dalam proses pergantian dari asuransi kesehatan yang lama ke yang baru. Proses administrasi yang ribet membuat saya dan suami sama-sama lalai dan setelah pergantian ke tahun 2017 kami belum juga membuat janji dengan psikiater. Kondisi saya makin memburuk. Hari-hari dimana saya masih bisa berfikir jernih, makin sedikit jumlahnya dibanding dalam keadaan ‘linglung’.  Merawat Keeva sebatas mengganti popok dan menyusui saja, saya makin tidak merasakan ikatan batin dengannya. Tidak ada emosi dan energi untuk mengajaknya bermain, menyanyikan lagu atau membacakan buku. Suatu hari saya keluar rumah dan meninggalkan Keeva tidur sendirian karena ‘sengatan listrik’ itu datang lagi dan saya merasa linglung berat. Malam-malam saat Keeva dan suami tidur, saya bukannya tidur, malah mencakar-cakar lengan sendiri. Saya menelpon kakak saya di Jakarta memintanya datang ke Dallas, menyelamatkan Keeva dari ibunya yang ‘gila’, saya paranoid bahwa Child Protection Service akan mengambil Keeva karena saya dan suami tidak mampu mengurusnya. Paranoid bertambah parah saat saya merasa semua orang di seluruh dunia yang saya kenal membenci saya, ngomongin saya dan menertawakan saya atas ketidakkompetenan saya merawat Keeva. Puncaknya ketika saya di kantor dan pulang sebelum waktunya karena merasa saya telah dipecat. Atasan saya datang ke apartemen kami untuk menjelaskan bahwa itu tidak benar. Sepulangnya dia dari apartemen, suami makin khawatir karena saya semakin kehilangan kontak dengan realita, tatapan saya kosong,  saya merasa saya tidak berguna, Keeva butuh ibu yang lebih baik dari saya. Saya mulai menyakiti diri sendiri dengan mencubit dan menampar pipi saya sendiri. Suamipun membawa saya ke unit gawat darurat, jelas tidak mungkin dengan kondisi ini saya sendirian di rumah merawat Keeva. Paranoid dan menyakiti diri sendiri atau bayi juga merupakan gejala psikosis. ‘Untungnya’ saya ‘hanya’ menyakiti diri sendiri bukan Keeva.

Setelah mendatangi unit gawat darurat, saya menjalani MRI dan berbagai tes lainnya sampai hampir malam hari. Suami harus pulang karena Keeva harus minum susu dan tidur. Sepeninggal suami, saya ditransfer ke dalam fasilitas kesehatan mental di Medical City Dallas. Sesuatu yang sangat tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Keeva dititipkan kepada ibu mertua yang cuti dari kerjanya untuk mengasuh sang cucu.

(Bersambung ke bagian 2: Di fasilitas kesehatan mental)